Rabu, 22 Desember 2010

Manusia Penyebab Bencana?

Oleh Agus Salim Mansyur

Air mata warga Mentawai, Sumatra Barat, pun belum kering. Gempa bumi terus menerjang mereka. Bencana itu menewaskan ratusan warga dan memorak-porandakan berbagai fasilitas dan infrastruktur penting. Ibu Pertiwi pun berlanjut menangis menyaksikan nasib sedih warga Sleman, Malang, dan Yogyakarta. Merapi kembali meletus menghancurkan lahan warga. Puluhan orang tewas mengenaskan.

Bencana alam yang mendera, berbagai peristiwa yang memorak-porandakan umat manusia, makin membuka mata bahwa manusia tidak punya kuasa apa pun. Namun, harus kita yakini bahwa Tuhan pun tidak mungkin menjatuhkan bencana sekecil atau sedahsyat apa pun jika manusia tidak “meminta”. Sebenarnya, manusialah yang menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana di muka bumi ini.
Banyak umat manusia yang memiliki frame bahwa hasil pemikiran umat manusia di bumi ini telah mendekati kebenaran. Manusia begitu bangga dengan berbagai keberhasilan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, tak sedikit di antara manusia yang mulai angkuh, sombong, dan takabur karena merasa telah berhasil menemukan kebenaran yang padahal semu, menggali potensi alam, sekaligus memanfaatkannya.
Kita tidak sadar dan tidak tahu bahwa ranjau-ranjau kehidupan telah menghadang. Kita buta sehingga apa yang tadi kita anggap benar dan bermanfaat ternyata malah dapat menyengsarakan umat manusia. Bagaimana bangganya para penemu gas freon lima puluh tahun yang lalu. Penemuan mereka dapat diaplikasikan bagi kehidupan manusia lewat pembuatan lemari pendingin (kulkas), AC, dan sejenisnya. Namun, kini kita baru menyadari bahwa uap gas freon tersebut mengakibatkan bolongnya lapisan ozon yang kini besarnya nyaris seukuran Benua Australia. Kita baru sadar bahwa penemuan itu dapat mengakibatkan wabah bencana bagi umat manusia. Berbagai penyakit kulit sulit disembuhkan, tekstur tanah mulai hilang kesuburannya, musim yang tidak menentu, hujan besar yang tidak diharapkan, dan banjir serta longsor pun terjadi di mana-mana.
Betapa bangganya para penemu pupuk kimia karena dapat meningkatkan hasil panen di seluruh tanah pertanian di dunia. Indonesia pun sempat dapat swasembada pangan karena menggunakan pupuk kimia. Namun, setelah puluhan tahun pemakaian pupuk itu, kita baru sadar bahwa pupuk tersebut telah mengekploitasi kesuburan tanah yang lama-kelamaan dapat habis. Kini, banyak lahan pertanian mulai kehilangan kesuburan dan sulit dicari obatnya. Akhirnya, ratusan lahan pertanian mati dan sulit ditanami. Maka, terjadilah longsor. Tanah serapan pun mulai habis. Banjir pun menggelombang menyeret permukiman, kemudian memakan kerugian ratusan miliar rupiah dan ratusan jiwa jadi korban.
Gedung-gedung berbeton mencakar langit: hotel, bank, rumah sakit, vila, dermaga, dan gedung lainnya berdiri di pusat kota serta di sudut kota, mengalahkan pepohonan yang telah setia menunggu puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun. Pohon-pohon itu dibantai dalam keangkuhan bapak-bapak pembangunan dan ilmuwan-ilmuwan pembangunan.
Selama ini, muncul pandangan bahwa otak manusia itu cemerlang sehingga dikategorikan dapat menembus kebenaran. Penelitian muktahir menunjukkan bahwa otak manusia  terdiri atas bermiliar-miliar sel aktif; minimal ada 100 miliar sel otak aktif sejak lahir. Masing-masing sel dapat membuat jaringan sampai 20.000 sambungan tiap detik. Yang menakjubkan, saat awal kehidupan manusia, otak berkembang melalui proses belajar-alamiah-dengan kecepatan tiga miliar sambungan per detik. Sambungan-sambungan itu adalah kunci kekuatan otak sehingga Gordon Dryden menyatakan, “Manusia adalah pemilik komputer paling hebat, yakni otak.”
Namun, pada kenyataannya tidak. Otak manusia itu ternyata memiliki cacat. Otak manusia ini tidak dapat menembus akibat-akibat sequential, yakni akibat-akibat yang bakal terjadi pada masa mendatang, tentu berbeda dengan masa sekarang atau masa lalu.
Inilah yang menuntun penemuan gas freon begitu membanggakan sembari tidak tahu esok lusa akan membolongi lapisan ozon. Inilah yang mendorong pemakaian pupuk kimia berlebihan, tapi tidak tahu puluhan tahun ke depan akan mematikan kesuburan tanah. Inilah yang mendorong pembangunan menjadi program utama pemerintah, sedangkan pelestarian hanya program sampingan.
Semuanya bermuara pada ketidaktahuan hari esok dan hari lusa. Inilah kelemahan otak manusia yang tidak dapat menangkap akibat sequential ini. Inilah yang dalam analogi Emha Ainun Najib disebutkan bahwa manusia itu buta, manusia tidak tahu apa yang bakal terjadi esok lusa, bahkan dalam sedetik ke depan.
Kecacatan otak manusia tersebut diperparah lagi karena hanya dipandu oleh kekuatan indrawi yang ternyata banyak kelemahan. Dalam pandangan para filsuf dulu, pancaindra manusia ini dapat menangkap seluruh fenomena alam dengan tepat dan akurat. Namun, dalam pandangan filsuf masa kini, pancaindra manusia ini hanya dapat menangkap bagian luaran. Pancaindra ini hanya dapat menangkap fenomena suatu benda (dunia luar), tetapi tidak dapat menangkap apa di balik benda tersebut yang menurut para filsuf noumena. Kendati para ilmuwan eksakta berusaha mempertajam kemampuan indrawi dengan berbagai alat, misalnya mikroskop, itu hanya berfungsi memperbesar dan tidak dapat membantu untuk menemukan noumena.
Ilmuwan Islam, Mohammad Arkoun, memberi saran agar hasil-hasil mutakhir ilmuwan Barat tersebut tetap digunakan, tetapi melengkapinya dengan wacana Islami yang selama ini mengalami kebekuan. Herman Soewardi (1991) menyodorkan sebuah wacana Islami yang dapat melanjutkan wacana Barat yang disebut naqliah memandu aqliah. Dalam pandangan ini, akal manusia (fitrah)-yang dalam analogi ilmuwan Barat adalah otak-bukan harus dipandu oleh pancaindra, tetapi oleh wahyu (petunjuk Allah).
Kegagalan alur Barat sekuler telah menunjukkan bahwa ilmu itu harus diungkapkan berdasarkan petunjuk dari Penciptanya. Ilmu Barat yang beroperasi tanpa petunjuk Penciptanya akhirnya mengalami kegagalan. Ilmuwan Islam, Ismail Faruqi, juga menganjurkan Islamization of Knowledge. Wacana Islami adalah implikasi tauhid pada thought atau nalar.
Kunci utama nalar Islami adalah petunjuk Allah yang terkumpul dalam Alquran dan sunah berupa nash-nash (teks-teks). Oleh karena itu, Alquran dan sunahlah yang harus dijadikan panduan atau pedoman dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk aplikasinya dalam masyarakat, bukan sains Barat. Inilah yang akan membawa keselamatan dan terhindar dari berbagai bencana.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting