Sandy Ibrahim
Mari,
“Panggil saja aku Minke” Penggalan kalimat yang kukutip dari “Bumi Manusia”, ia lahir dari penghinaan kepada manusia yang dianggap bukan manusia. Minke, kata lain dari monyet, yang pada deretan kalimat lain pada cerita itu berbunyi: “Diam kamu, Monk…!”. Bentak Menner Ben Roseboom, pengajarnya sewaktu duduk kali pertama di ELS (Europeesch Largere School). Sesosok manusia udik, kampung, dusun, sepersekian kalimat apalagi yang mesti disebutkan jika bukan MANUSIA TERBELAKANG.
Memang, Minke ada di belakang dan jauh dibelakangnya adalah manusia-manusia yang sudah ditaklukan dari sisa kejayaan masa silam kerajaan di Bumi Pertiwi, Bumi Manusia. Lalu yang hadir penjajahan Belanda dengan aneka tipu daya. Ditipu kemudian diperdayai, kemudian dan seterusnya.
Tiga ratus tahun lebih kepala manusia ini diinjak-injak, ditekuk-tekuk hingga melutut. Minke, dalam cerita “Bumi Manusia” ini syarat akan sejarah yang berat, telik, dan berbobot. Ia tak lain dari monyet nakal yang memendam kecucukan (rasa ingin tahu), hidupnya tak mau diatur, ngawur, dan satu hal, ia satu-satunya pibumi “terdidik” yang berketetapan hati. Ia dihadirkan sebagai representasi perlawanan. Tentunya seorang pembangkan terhadap orang tua, padahal orang tuanya tak lain adalah pejabat Bupati pada masa pemerintah Hindia Belanda, yang itu artinya – di mata Minke- sama saja antek di bawah ketiak penjajah.
Keterbelakangan selama ratusan tahun telah mendikte kehidupan manusia di atas bumi dengan pandangan hidup feodalistik.
Lantas, haruskah bertekuk lutut di atas aturan yang sementara kemanusiawian telah mencabik-cabik harga diri, lalu hukum Belanda tidak sedikit pun bicara soal kemanusiawian yang tertindas di muka bumi, di atas Bumi Manusia?
Minke, kesosokannya menjelma seperti anoman yang meneriakan harkat dan martabat pribumi, lewat sejumlaha catatan yang diterbitkan pada koran-koran, curahan hati dan refleksi apa yang ia lihat, amati, dan rasakan dituliskan dalam surat-surat berbahasa Belanda supaya dibaca oleh mereka yang berpengetahuan.
Ia mampu menghayati sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu, mampu mengendalikan diri, melawan segala kesombongan dan keangkuhan penjajah bermuka banaspati, melawan setiap yang bernafsu rahwana, menangkis setiap yang menghisap, merayu, dan menipu sebagaimana sarpakenaka.
Minke, tak lain tak bukan adalah hinaan terhadap harga manusia, ejekan kepada pribadinya sekaligus manusai di buminya, di atas “Bumi Manusia”. Minke, anoman sang kera putih nakal melawan kezaliman alengka di bawah kekejaman Rahwana sang penghisap, Belanda.
Pikiran kemanusawiannya terbentuk ketika bersinggungan banyak dengan Juffrouw Magda Petters, wanita lajang yang juga gurunya di HBS. Si guru Belanda tersebut, diam-diam pro teradap gerakan Radikal Belanda yang berpandangan terhadap liberal.
Ia dan Minke sendiri sedikit banyak terilhami oleh gerakan Revolusi Perancis, di mana kebebasan dalam menyatakan kemerdekaan sebagai manusia patut dijunjung tinggi, persamaan antara manusia yang menghapus segala bentuk perlakuan rasisme. Pandangan Magda Petters sendiri tidak begitu banyak mendapat apresiasi, sebaliknya terlebih ia tersudutkan dan dikucilkan dari dunianya. Tapi dari sinilah celah iluminasi untuk membangkitan harga diri sebagai manusia.
Betapa beruntungnya Minke berguru pada seorang Magda Petters. Di tengah gelak hinaan, cercaan, pendeskriditan, serta citra yang menyudutkan, mulai dari soal pelecehan terhadap ras, kulit, dan bangsa. Rasa-rasanya ingin meledak, mengamukan amarah dan murka terhadap penjajahan, namun apa daya perlawanan harus dilakukan dengan pelan perlahan-lahan. Caci tak kurang dari cela, suka tak lebih dari puji.
Lalu perlawanan pun pada gilirannya mesti dilakukan dengan pengetahuan. Naasnya, Pribumi ini bodoh, dan tidak tahu satu pun itung-itungan serta huruf bacaan. Memang, ketidaktahuan bagi manusia adalah aib,. Namun, membiarkan orang yang ingin tahu adalah khianat. Demikian ungkapan dalam hati seorang Minke ketika berbicara dengan Teer Haar, seorang wartawan yang berhenti kerjanya karena satu lain hal, di atas sebuah kapal, perjalanan menuju Betawi.
Ia juga rajin berkorespondensi dengan Herbert De La Croix, tak lakah intensifnya juga komunikasi dengan Meriam dan Sarah De La Croix lewat surat, betapa banyak mendapatkan pengetahuan soal keadilan dan ketikadilan. Isi surat penuh dengan rasa simpati terhadap apa yang dilakukan oleh Minke sebagai bentuk perjuangan dalam melawan ketidakadilan manusia.
Buku yang pertama dari tretalogi Pramoedya Ananta Toer. Siapakah Minke yang dikhayalkan oleh pengarang pada setting Wonokromo ini?
Di sebuah daerah yang di sana terdapat ladang pertanian dan peternakan bernama Boerderijz Boittenzorg. Ladang itu dibesarkan oleh Mama, atau Nyai Ontosoroh, tak lain si Sanikem, wanita gundik Mr. Herman Mallema, Belanda.
Nyai Ontosoroh, sebuah symbol perlawanan yang kuat terhadap jargon vini, vidi, vici. Jargon ideology ini menjadi senjata ampuh para penjajah: melihat dengan licik, mendatangi kemudian meninjak dan memperkosa, menguasai kemudian memperbudak.
Nyai Ontosoroh, atau dengan aslinya Sanikem, sadar sepenuh hati akan masa silam yang kelam. Dirinya, dari ujung kuku kaki hingga rambut, telah digadaikan oleh ayahnya demi mempertaruhkan jabatan sebagai anteknya penjajah, menjadi seorang juru bayar. Sebuah jabatan bergengsi bagi kaum pribumi pada saat itu.
Untuk menjadi manusia berpengetahuan, nampaknya harus melacurkan diri. Menyerahkan segumpal daging dengan jiwa yang menjerit, tanpa cinta dan rela, menjadi gundik, istri simpanan.
Perdagangan manusia dan perbudakan mengisi perjalanan masa penjajahan cukup kental. Tak hanya Sanikem, juga Surati, Keponakannya Sanikem, anaknya Paiman (pamannya Nyai Ontosoroh), juga mengalami pengalaman kelam yang serupa. Ia digadaikan kepada Tuan Belanda oleh Ayahnya yang waktu itu dijebak kasus keuangan, sementara Paiman adalah seorang juru bayar atau tukang tulis, yang ketika menjabat menjadi juru tulis namanya diganti menjadi Sastro Ksssier (Tukang bayar dan pencatat). Terdapat kesamaan struktur peristiwa perbudakan dan jual beli wanita usia belia yang dihadirkan dalam babak yang beda.
Sumbu waktu kekelaman masa silam tentang perbudakan dan perdagangan manusia, hingga kini masih menyala, hadir dalam bentuk yang lebih canggih dan praktik yang tak kalah menarik. Ia terbungkus dalam bentuk atau atas nama Tenaga Kerja Wanita yang dikirim ke luar negeri, padahal di sana mereka dilacurkan dari mulai tubuh dan hingga harga diri bangsanya.
Juga soal pelacuran, yang sedari dulu, dalam cerita itu terdapat terdapat rumah bordir yang menjajakan para lonte, dari luar Hindia, ada yang dari Cina hingga Jepang. Seorang lonte berkelas, yang diimpor dari Jepang, kemudian dipelihara Babah Ah Tjong, bernama Maikko. Si Maikko ini tak lain primadona bagi kalangan atas di rumah bordir, kembang Jepun. Ia adalah termasuk yang dimangsai oleh Robert Mallema, anaknya Nyai Ontosoroh-Herman Mallema. Namun apa daya, penyakit pelesiran yang dibawanya menular di tubuh si Robert. Penyakit pelesiran ini lambat laun mengganas, menggorogoti tubuh si Robert hingga lunglay, lalu ia mati terkapar. Penyakit pelesiran barangkali merupakan penyakit Aids pada masa itu.
Bayangkan, di dalam deretan ratusan masa penjajahan tersebut, Belanda mampu melunasi utang2nya kepada bangsa lain, plus pemenuhan kebutuhan dapurnya, dengan cara mengambil kekayaan secara cuma-cuma dari bumi hindia, di mana segala gula, kopi, tambang, dan rempah-rempah dilahapnya. Belanda memang miskin sampai berlarut-larut bumi Hindia ini dieksploitasi, namun gilanya, Hindia tak kalah bodohnya hingga tidak mampu mengolah alam untuk kepentingan dirinya. Bangsa Hindia memang benar bermental kuli!
Sebagai balas budi Belanda, lahirlah politik etis dalam bentuk emigrasi, edukasi, dan irigasi. Lalu, apakah ini betul-betul balas budi jika yang terjadi adalah bahwa emigrasi dilakukan perpindahan katakanlah manusia dari Jawa ke luar Jawa hanya untuk pembukaan lahan baru kebun tebu dan pengolahan gula, demikian pula dengan irigasi di mana pengairan sengaja dilakukan semata-mata demi terciptanya system pengairan pertanian tebu, dan tak kalah ironisnya juga dengan edukasi di mana akses pendidikan untuk pribumi sangat dibatasi dan ditempatkan pada kelas yang berbeda antara pribumi dan non-pri?
“Bumi Manusia”, dongeng pergulatan peradaban dan kebiadaan menyelimutinya dengan unggul, di jaman penjajahan Belanda akhir abad 19 (1899).
Cicalengka, 24 Februari 2010
0 komentar:
Posting Komentar