Oleh DELI LUTHFI RAHMAN
Sebuah pertanyaan yang selalu melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru. Sebuah pertanyaan yang dipenuhi sekelumit misteri bagi si penjawab.
Pertanyaan tersebut hanyalah terdiri dari satu kalimat, empat kata dan empat belas huruf. Namun memerlukan jawaban yang sangat panjang dan rumit. Sehingga pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan sebuah perbuatan, bukan perkataan atau dengan teori yang penuh dengan omong kosong belaka.
Ayah, memberi nasihat-nasihat kehidupan kepadaku, ”Nak, perhatikan dan dengarkan apa yang ada disekitarmu. Belajarlah tentang sesuatu darinya. Carilah ilmu, karena itu adalah sebaik-baiknya bekal, sehingga engkau tidak akan lelah untuk memikulnya. Engkau tidak akan menjadi orang yang menyesal karena berteman dengan ilmu, Engkau akan melihat dengan ilmu, engkau akan mendengar dengan ilmu dan engkau akan berbicara dengan ilmu. Maka engkau tidak akan menjadi orang yang buta, tuli dan bisu”.
”Nak, Bersekutulah dengan kenyataan. Bila tidak begitu, engkau akan selalu diliputi resah bila harapan yang kau bingkai dan kau pajang dalam dinding-dinding mimpi kehidupan tidak tercapai. Nak, jangan kau memgikuti arus, karena itu hanya akan membuatmu terjebak oleh buih-buih yang menipu. Jangan pula kau melawan arus, karena itu akan membuatmu hancur berkeping-keping. Tapi yang kau harus lakukan adalah mengatasi arus, karena dengan begitu kau akan tahu kapan harus mengikuti dan melawan arus, sehingga kau tidak akan menjadi orang yang terjebak atau hancur”.
Aku adalah orang yang terjebak diantara pertanyaan yang dilematis, bahkan aku tidak mampu untuk menjawabnya dengan sistematis. ”Apa yang kau cari?”, ilmukah? Atau gelar kesarjanaan yang selalu dipuja-puja oleh orang disekitarnya?, sehingga orang rela melakukan apa saja demi memilkinya. Inilah sebuah prolog dari cerita sejarah hidupuku. Dan akan aku ceritakan tentang sebuah jawaban yang lahir dari pertanyaan dilematis tersebut.
Aku berfikir bahwa yang terpenting adalah ilmu, maka aku tidak akan menjadi orang yang memuja sebuah gelar. Aku melihat banyak orang yang mempunyai gelar tetapi dalam keilmuannya nol besar. Sebab mereka hanya memikiran cangkangnya bukan isinya. Maka aku putuskan ketika masuk perguruan tinggi harus merubah sebuah paradigma berfikir yang salah. Paradigma bahwa gelar adalah segalanya namun esensi dari gelar tersebut hilang ditelan gengsi.
Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK) yang diselenggarakan oleh organisasi mahasiswa tertinggi di lingkungan akademik, Dewan Mahasiswa (DEMA). Opak, menghabiskan waktu selama empat hari, dimulai tanggal 18 Agustus-24 Agustus 2008, bertempat di Aula Universitas Islam Negri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
Hari pertama Opak sungguh luar-biasa, peserta sampai mebeludak keluar. Aula UIN tak sanggup menampung ribuan calon mahsiswa baru. Panitia pun tidak memperkirakan ini akan terjadi, wal-hasil panitia kewalahan dalam mengkondisikan para peserta. Akhirnya yang terjadi, peserta tidak dapat terpantau seluruhnya oleh panitia. Peserta yang tidak kebagian tempat di dalam aula, ditempatkan di luar aula sehingga sebagian peserta yang di luar bisa dengan bebas mengikuti Opak. Ada yang merokok, ada yang jajan dll.
Opak menjadi ”ajang” saling mengenal, disinilah aku memperhatikan setiap orang dengan berbagai keingininan dan tujuan. Mahasiswa menjadi potret yang menarik bagi orang yang melihatnya, bagi mereka yang sudah bosan dibelenggu dengan peraturan sekolah. Ucapkan selamat tinggal kepada seragam, ucapkan perpisahan kepada razia yang dilakukan oleh para guru sehingga membuat geram bagi yang mengalaminya. Sekolah menjadi salah satu bagian dari evolusi pendidikan formal, sehingga sampai pada tingkatan tertinggi, yaitu perguruan tinggi. Evolusi yang didambakan oleh setiap orang, kebebasan mengekspresikan diri menjadi ciri dari evolusi ini.
Hari pertama sungguh membosankan dan melelahkan. Mungkin lelah akibat dari rasa bosan yang mendampingiku dengan setia pada setiap acara yang disuguhkan oleh panitia. Rasa bosan ini hadir dalam tiap gerak dan langkahku diakibatkan aku tidak mendapatkan tempat didalam aula, lantas apa yang mau diperhatikan dari acara tersebut?.
Adzan dzuhur pun tiba, pada hari itu adzan dzuhur bagai sebuah lonceng istirahat yang ditungu-tunggu, adzan dzuhur bagai hari kebebasan bagi narapidana yang telah lama terkurung dalam rimbunnya terali besi, adzan dzuhur bagai sebuah tempat peristirahatan sang musafir yang telah menempuh jarak begitu jauh. Aku pun segera bergegas menuju para pedagang yang siap melepas kerinduan setiap para pelanggannya. Aku hisap sebatang rokok dengan penuh kerinduan, bagai dua sejoli yang telah terpisah ribuan abad lamanya. Asap mengepul dari rokok ku, berkumpul menjadi satu dalam putaran angin. Diantara sibuknya asap, terbersit dalam pikiran sebuah kata-kata pemberontakan, ”Aku bosan, aku akan pulang”.Hari pertama, aku hanya mengikuti selama setengah hari. Untuk persiapan hari kedua aku akan menanyakannya pada temanku saja, gampangkan!
Hari kedua tak ada bedanya dengan hari pertama, bagai saudara kembar identik. Setelah adzan ashar peserta dibagi kelompok untuk melakukan mentoring. Karena kemarin tidak masuk, aku tidak tahu masuk kelompok mana. setelah melihat papan yang didalamnya tertera pembagian tiap-tiap kelompok, ternyata aku masuk kelompok 110.
Mentoring pun dimulai, kelompok 110 disatukan dengan kelompok 109, jadi ada dua pementor. Bahasan yang diajukan tentang ke-UIN-an, kami pun asik berdiskusi. Pementor mengatakan, ”Kawan-kawan pernah baca buku yang berjudul ’Dahulukan Akhlaq daripada Fiqih?’, yang ditulis oleh Jalaludin Rahmat”. Aku berpikir bagaimana bahasan tentang ke-UIN-an bisa masuk kepada bahasan tersebut, apa hubungannya?, entah karena kehabisan kata-kata atau ada maksud tertentu?. Pementor menanyakan kembali, ”Kawan-kawan setuju tidak dengan buku tersebut?”. ada yang mengatakan dahulakan dulu akhlaq dan ada yang mengatakan dahulukan dulu fiqih. Mereka yang berpendapat dahulukan dulu akhlaq mengatakan ”bila fiqih yang didahulukan bisa terjadi perpecahan atau permusuhan karena masalah fiqih itu berbeda-beda tapi bila berbicara masalah akhlaq pasti sama”. Namun pendapat ini dibantah oleh mereka yang mengatakan dahulukan dulu fiqih dengan argumentasi, ”Fiqih memang berbeda-beda, tapi kita tidak bisa menafikan keberadaan fiqih sebagai hubungan kita dengan Allah”.
Sebenarnya dalam perbedaan pendapat tersebut aku setuju dengan orang yang mengatakan dahulukan fiqih. Namun aku coba memberi pertanyaan yang sedikit nakal, sehingga seolah-olah kontradiksi dengan pendapatku. Aku bertanya, ”Bagi anda yang berpendapat dahulukan fiqih saya ingin bertanya, bukankah di dalam hadits yang menceritakan tentang orang yang rajin puasanya, rajin shalatnya bahkan tidak pernah lepas tahajudnya, namun akhlaq terhadp tetangganya jelek. Banyak tersinggung oleh perkataannya. Kemudian shahabat melaporkan kepada Nabi saw., lantas Nabi mengatakan, ’Hiya min ahlin-nar’. Pertanyaannya apa maksud dari hadits tersebut?, apakah Nabi menyuruh untuk mendahulukan akhlaq dari-pada fiqih?”. aku bertanya begitu untuk memancing agar terjadi perbincangan yang lebih seru lagi.
Pendapatku tentang perbincangan tersebut, bahwa keduanya antara fiqih dan akhlaq harus ditempatkan sesuai posisinya. Keduanya saling berkaitan, bagiku tidak ada yang harus di dahulukan, tapi harus berjalan beriringan. Menanggapi hadits yang aku sebutkan di atas, bahwa hadits tersebut mensiratkan apa yang kita lakukan dalam beribadah harus menjadi aqidah dalam berkehidupan sosial kita. Artinya shalat, shaum, zakat dan haji yang kita lakukan harus ada dampak dalam berkelakuan atau dalam berkehidupan kita.
Bukankah Allah telah berfirman, ”Shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar?”, kemudian Allah juga berfirman, ”Kecelakaan bagi orang yang shalat. Orang yang shalatnya lalai”. Pertannyaannya apakah yang dimaksud dengan shalatnya lalai?. ”Lalai” disini bisa berarti, bahwa orang tersebut terkadang ia shalat dan terkadang ia tidak. Bisa berarti juga, shalatnya tidak sesuai dengan apa yang Nabi ajarkan, karena Nabi pernah bersabda, ”Shalatlah sebagaimana kalian melihat atau mengetahui aku shalat”. Bisa berarti juga, shalatnya tidak berdampak pada kehidupannya atau shalatnya tidak mencegah kepada fahsya dan munkar. Intinya keberadaan fiqih tidak bisa dinafikan dari pada keberadaan akhlaq itu sendiri.
Pementor itu juga menceritakan, bahwa mengapa buku ini ada, berdasarkan pengalaman penulis. Jadi beliau pernah mengunjungi rumah seseorang, kemudian pada saat beliau meminta izin untuk ke ikut ke kamar mandi beliau melewati jemuran. Jemuran tersebut terkena badannya. Orang yang mempunyai jemuran tersebut mencucinya kembali dengan alasan dia itu najis. Tentu saja beliau sakit hati.
Pada hari terakhir Opak, menampilkan kebolehan dari tiap-tiap Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dengan tujuan menarik mereka para calon mahasiswa untuk bergabung dengan komunitasnya. Disinilah ku lihat berbagai wajah islam untuk mencari tuhannya. Mencari kebenaran yang hakiki dengan dalil-dalil logika. LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman), LDM (Lembaga Dakwah Mahasiswa), SUAKA (Suara Kampus), PSPB (Pencak Silat Paku Banten) adalah diantara jenis-jenis UKM tersebut.
Setelah Opak yang penuh dengan berbagai peraturan selesai, hari seninnya kami pun harus bersiap-siap karena kegiatan perkuliahan akan dimulai. Perkuliahan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Perkuliahan yang di-isi dengan berjuta harapan tiap-tiap orang.
Mahasiswa yang di identikan dengan kehidupan yang bebas, pergaulan yang bebas dan lain sebagainya sempat membuatku khawatir. Karena aku takut terjerumus kedalamnya, kedalam jurang kenikmatan yang membuat tenang setiap orang yang terperosok. Aku takut kehadiran kelam di mimpi cerahku. Aku takut keindahan duniawi menodai ketentuan yang harus dijalankan bagi setiap yang diciptakan. Aku takut prinsip-prinsip yang aku bangun dengan tetesan keringatku hancur diterjang ketidak berdayaan. Aku takut di asingkan karena aku dianggap berbeda dengan orang disekitarku. Ini hanya sebagian butir-butir ketakutan yang mesti aku pikirkan jalan keluarnya.
Jawaban dari setiap ketakutan, ku temukan dalam tiap-tiap nasehat kebenaran dan sebaris kata, ”Apa yang kau cari?”. sebaris kata yang mengingatkanku akan sebuah tujuan dan jawaban. Bagiku jawaban bukan ada pada kata-kata, tapi jawaban ada pada sebuah perbuatan.
{Penulis adalah Deli Luthfi Rahman Mahasiswa S1 Jurusan Jurnalistik UIN SGD Bandung}
0 komentar:
Posting Komentar