Rabu, 22 Desember 2010

DAKWAH : KEBAHAGIAAN HIDUP MANUSIA


A. Kebahagian: Tujuan Terdasar Manusia
            Kabahagiaan merupakan tujuan terdasar bagi manusia. Oleh karena itu setiap perbuatan manusia digerakan oleh tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan. Semua yang kita lakukan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan, kita tidak sungkan-sungkan mengorbankan atau mengeluarkan sesuatu yang amat berharga karena berharap agar kita mendapatkan kebahagiaan, kita seringkali melakukan apa pun agar dikemudian hari dapat meraih kebahagiaan. Jadi, pada dasarnya semua manusia mengharapkan kebahagiaan dan tak seorang pun ada yang berharap menderita. Bahkan secara psikologis tidaklah mungkin ada manusia yang menghendaki atau menginginkan penderitaan.[1] Mereka yang nampaknya senang membuat dirinya menderita itu sebenarnya hanya menunjukkan jiea yang tidak sehat. Ini merupakan kekecualian yang menunjukkan betapa tidak lumrahnya bertingkah laku semacam itu. Apa yang sebenarnya mereka cari, secara tidak sadar mungkin adalah semacam pemuasan sadistik-masokostik yang mereka dapat dengan berbuat demikian.[2]
Dengan demikian, dapat dikatakan secara faktual sulit untuk dibantah bahwa manusia terus menerus mengharapkan, dan mencari kebahagiaan. Sejak dia dilahirkan sampai dia mati bahkan setelah mati sekalipun manusia tetap berharap mendapatkan kebahagiaan. Karenanya, apa pun akan dilakukan oleh manusia -baik miskin atau kaya, laki-laki atau pun perempuan, muda atau tua- dalam rangka mendapatkan kebahagiaan tersebut. Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa kebahagiaan merupakan harapan dan tujuan terdasar seluruh manusia, karena tidak mungkin manusia mengharapkan penderitaan.
Kebahagiaan adalah sesuatu yang selalu dikejar oleh seluruh manusia, bahkan untuk mendapatkan kebahagian itu, manusia seringkali lupa cara, lupa waktu, bahkan lupa dirinya sendiri. Pertanyaannya adalah apakah manusia akan dikatakan bahagia apabila kepuasaan yang bersifat material atau  jasmaniahnya telah terpenuhi dan apakah kebahagiaan sama dengan kegembiraan atau kesenangan. Selanjutnya, adakah kebahagiaan itu atau memang hanya merupakan harapan yang tidak mungkin didapatkan, karena manusia memang hanya ditakdirkan untuk berharap dan mengejar kebahagiaan.  Akan tetapi apabila memungkinkan  manusia akan mendapatkan kebahagiaan, bagaimana cara mendapatkannya dan kebahagiaan seperti apa . Pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu mendapat jawaban agar manusia  tidak tertipu bahkan menderita oleh sesuatu yang dianggap kebahagiaan itu sendiri.

B. Kebahagiaan: Sebuah Pencarian Makna
            Kebahagiaan adalah keinginan yang terpuaskan karena disadari memiliki sesuatu yang baik. Seorang itu bahagia sempurna karena ia secara utuh memiliki yang baik dan sempurna. Kebahagiaan sempurna itu datang dari hal yang sepenuhnya memuaskan segala keinginan kita. [3] Bahkan Bpethius memberi definisi : “A state made perfect by the aggregate of all good things”, dan Thomas Aquinas menyatakan bahwa kebahagiaan adalah “the perfect good which lulls the appette altogether”.[4] Sedangkan kebahagian itu tidak disebut sempurna apabila tidak memuaskan semua keinginan kita secara sempurna atau andaikata memuaskan keinginan, tetapi tidaklah memuaskan keinginan dengan sepenuhnya.
Bertolak dari pemahaman tersebut di atas, maka kebahagiaan merupakan sebuah konsep untuk menyatakan keadaan sadar kita bahwa keinginan kita telah terpuaskan. Bahkan menurut Poespoprodjo apabila seseorang tidak merindukan kebahagiaan, tentu tidak mempunyai keinginan-keinginan untuk berbahagia maka orang itu bukanlah manusia.
Happiness can be considered in two ways. First, according to the general notion of happiness; and thus of necessity every man desires happiness. For the general notion of happiness consist in the perfect good. But since good is the object of the will, the perfect good of  man is that which entirely satisfies his will. Consequently to desire happiness in nothing else than to desire that ones will be satisfied. And this every one desires. Secondly, we may speak of happiness according to its specific notion, as to that in which it consist. And thus all do not  now happiness, because they now not in what thing the general notion of happiness is found and consequently in this respect not all desire it.[5] 

Dengan demikian kebahagiaan merupakan tujuan hidup manusia, karena setiap orang dalam hidupnya berusaha untuk mencapai kebahagiaan bahkan merupakan tujuan terakhir dan tujuan tertinggi setiap manusia. Akan tetapi dapatkah manusia mencapai dan mendapatkan kebahagiaan itu dan apakah manusia akan mendapatkan kebahagiaan secara sempurna atau mungkin hanya menebak bahwa sesuatu yang dikejarnya adalah kebahagiaan.
Bertolak dari permasalahan di atas, maka banyak cara yang dapat digunakan oleh kita untuk memahami apakah sesuatu itu sebagai kabahagiaan atau bukan. Kalaulah sesuatu itu disebut sebagai kebahagiaan oleh sebagian kelompok orang, apakah kebahagiaan tersebut merupakan kebahagian yang sempurna sebagaimana yang kita cari bersama. Jawaban mengenai hal tersebut pada awalnya akan kembali pada keyakinan masing-masing. Walaupun demikian, tidakkah lebih bijak apabila kita pertanyakan ulang, betulkah kebahagiaan seperti itulah kebahagiaan yang kita dan merupakan kebahagiaan yang sempurna.
Banyak keyakinan yang menjelaskan tetang kebahagiaan. Misal, bagi kelompok atheis dan materialis kebahagiaan mereka hanya dibatasi  dan mereka memang membatasi kebahagiaannya hanya sebatas sebagaimana yang mereka dalam hidup ini. Mereka merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dikerjakan, karena mereka mengajarkan bahwa hidup ini hanya sebatas hidup disini dan kini sebab bagi mereka tidak ada yang disebut kehidupan setelah kematian. Sehingga bagi mereka usaha untuk mencapai kebahagiaan yang sebenarnya merupakan perbuatan yang sia-sia belaka. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Berrand Russell:
That man is the product of causes wich had no prevision of the end they were achieving; that its origin, his growth, his hopes and fear, his loves and his beliefs, are but the outcome of accidental collocations of atoms; that no fire, no heroism, no intensity of thought and feelling, can preseve an individual life beyond the grave; that all the labors of the ages, all the devotions, all the inpirations, all the nooday brightness of human genius, are destined to extinction in the vast death of the solar system, and that the whole temple of man’s achievment must inevitably be beneath the debris of a universe in ruins, all these things, if not quits beyond dispute, are yet so nearly certain, that no philosophy which rejects them can hope to stand. Only within the scaffolding of these truths, only on the firm foundation of unyielding despair, can the soul’s habitation henceforth be safety built.[6]
Hal tersebut di atas, menurut Poespoprodjo bahwa stoisisme sebenarnya menunjukkan pesimisme dunia Barat menghadapi perkembangan-perkembangan modern science.[7]
  
Jadi, manusia – kehendak manusia, tidaklah bebas mengenai kebahagiaan secara umum. Manusia dibentuk sedemikian rupa dan manusia wajib mencarinya. Tetapi menusia bebas dalam memilih objek-objek kongkret yang ada dari mana manusia mengharapkan mendapatkan kebahagiaan. Tetapi tidaklah semua tahu bagaimana menemukan kebahagiaan.
Oleh karena merindukan kebahagiaan di awang-awang, seseorang mungkin berpendapat bahwa kebahagiaan yang konkret nyata menjadi tidak mungkin karena kekurangan untuk mencapainya. Orang akan putus asa untuk mendapatkan kebahagiaan, bahkan ia tidak tahan untuk menghadapi hilangnya kebahagiaan. Singkatnya, seseorang meingingkan tidak kurang akan kebahagiaannya. Jadi ia memilih apa yang nampkanya merupakan kebagiaan relatif, atau hal yang nampaknya sesudah diperbandingkan, merupakan hal yanag lebih membahagiakan. Misalnya, seseorang bunuh diri, hanya untuk meringankan hidupnya dari kenestapaan hidup. Semuanya ini nampaknya hanya merupakan kesusilaan dari hukum universal yang berkata bahwa semua orang mencari kebahagiaan.
Kebahagiaan adalah motif terdasar dari segala sesuatu yang kita kerjakan. Setiap perbuatan kita digerakkan oleh keinginan. Pemuasan keinginan tersebut dituju atau dikehendaki paling sedikit sebagai suatu unsur dlam keseluurhan kebahagiaan kita. Seringkali kita harus mengorbankan beberapa hal yang baik untuk hal-hal yang baik lainnya. Bisa jug akit akeliru memilih sesuatu yang nampaknya baik, dan tidak memilih sesuatu yang sebenarnya baik. Bisa juga kita, seperti orang yang tidak sehat akalnya, memilih suatu kesenangan yang sementara sifatnya di saat sekarang ini, daripada memilih kebahagiaan yang lebih besar di hari nanti. Tapi semua ini kita kejakan untuk atau demi kebahagiaan. Ini hanya menunjukkan bahwa kita bukannya tidak menghendaki kebahagiaan, tetapi justru menunjukkan bahwa kita menghendaki kebahagiaan demikian kuatnya, sehingga kita tidak betah menanti lebih lama lagi. Maka cepat-cepat merenggut bentuk-bentuk potongannya, bentuk tidak sempurnanya yang memikat demikian hebat terhadap pancaindera kita.
Tidak perlulah kita dengan secara eksplisit memikirkan tentang kebhagiaan dalam segala hal yang kita kerjakan. Kita tidak lebih dulu berhenti pada setiap perbuatan dan berkata kepada diri kita sendiri: “Ini saya kerjakan supaya saya bahagia.” Kadang-kadang, bila kita merenungkan tentang maksud hidup, kita bisa secara eksplisit membuta maksud semacam itu, dan maksud tersebut tetap tinggal dipikirkan dan memberintah perbuatan-perbuatan kita selanjutnya. Tetapi juga mereka yang tidak pernah memikirkan tentang arti dan maksud hidup, tetap berbuat secara implisit demi kebahagiaan.

C. Kebutuhan Manusia Mengenai Kebahagiaan

           
           
D. Dimensi yang Membuat Manusia Bahagia
            Apakah kebahagiaan bisa dicapai? Tidak seorang pun akan menolak bahw kebahagiaan tidak sempurna bisa dicapai. Tetapi, sesuai dengan definisinya, taraf ini tidak seluruhnya memuaskan. Kita ingin tahu apakah kebahagiaan sempurna itu dapat dicapai. Jawabannya terutama akan bergantung pada keyakinan masing-masing akan eksistensi Allah dan tidak dapat matinya jiwa manusia.[8] Kaum ateis dan materialis harus membatasi nasib manusia pada kebahagiaan sebagaimana mungkin dicapai dalam hidup ini, suatu kebahagiaan yang jelas tidak sempurna. Mereak menasihatkan supaya kita pasrah sadrah dan merasa puas dengan segala sesuatunya yang telah dikerjakan. Mereka mengajarkan supaya kita membajakan diri menghadapi fakta bahwa hidiup tidak mempunyai arti, dan usaha untuk mencapapia kebahagiaan yang sebenarnya sia sia belaka.
            Mengutif pendapatnya Berrand Russell yang mendukung gagasan di atas,[9] yaitu sebagai berikut:
            That Man is the product of causes which had no prevision of the end they were achieving; that its origin, his growth, his hopes and fears, his loves and his beliefs, are but the outcome of accidental collocations of atoms; that no fire, no heroism, no intensity of thought and feeling, can preserve an individual life beyond the grave; that all the labors of the age, all the devotions, all the inspirations, all the noonday brightness of human genius, are destined to extinction in the vast death of the solar system, and that the shole temple of Man’s achievement must inevitably be burried beneath the debris of a universe in ruins – all these things, if not quite beyond dispute, are yet so nearly certain, that no philosophy which rejects  them can hope to stand. Only within the scaffolding of these truths, only on the firm foundation of unyielding despair, can the soul’s habitation henceforth be safely built.”

E. Kebahagiaan Manusia di Dunia dan Akhirat
F. Kesimpulan


[1] Lihat Dr. W. Poespoprodjo, L. PH., S.S. Filsafat moral: Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek,  Bandung : Remadja Karya, hal. 33.
[2] Sadisme adalah pervesitas seksual yang menimbulkan perasaan seksual dengan menyiksa orang lain; masokisme adalah pervesitas seksual dimana si sakit baru memperoleh perasaan sahwat apabila ia disakiti. Sedangkan pervesitas itu sendiri merupakan hal yang memuaskan nafsu yang abnormal.
[3] W. Poespoprodjo. L. PH., S.S. Ibid..,  hal. 30-31.
[4] Ibid, hal. 31.
[5] Ibid, hal. 32-33.
[6] Lihat Berrand Russell dalam W. Poespoprodjo. L. PH., S.S. Ibid.,  hal. 35.
[7] Ibid, hal. 35.
[8] W. Poespoprodjo. L. PH., S.S., op. cit., hal. 35.
[9] “A free Man’s Worship” dalam  Mysticism and Logic, ch. III; dicetak kembali dalam Selected Papers of Bertrand Russell.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting