Taruh saja dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, minimalnya 0.5 persen terdiri dari orang-orang jenius di berbagai bidang.
Dari jumlah tersebut, maka akan ada sekitar 12.5 juta warga Indonesia jenius otaknya yang siap memajukan negeri ini. Namun, realitas membuktikan kehebatan otak warga Indonesia tak menjadi “tuan rumah” di negeri sendiri.
Pada 2006, industri kreatif Indonesia menyumbangkan sekitar 4,75 persen dari Produk Domestik Bruto atau PDB Indonesia pada 2006, berada di atas sektor listrik, gas, dan air bersih. Laju pertumbuhan industri kreatif Indonesia tahun 2006 juga sebesar 7,3 persen per tahun, melebihi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 5,6 persen. Ini mengindikasikan bangsa kita terdiri dari manusia-manusia mandiri dan kreatif, baik sebagai pekerja maupun sebagai inventor yang menghasilkan produk. Pemerintahan semestinya dapat mengayomi mereka sehingga iklim kehidupan di negeri ini mengejawantahkan kompetisi kreatif di berbagai sektor.
Inovasi dan kreativitas mereka di berbagai bidang keahlian seolah tak mendapatkan penghargaan dari pemangku kebijakan. Tak heran jika ada warga Indonesia yang berkreasi lebih leluasa menjalin kerjasama dengan pihak luar. Kehebatan BJ Habibie di dunia teknologi pesawat misalnya, di negeri ini tak mendapatkan penghargaan semestinya. Bukan karena beliau tak mencintai negeri ini. Melainkan ada penghargaan dan apresiasi dari negeri luar atas karyanya. Penelitian dan pengembangan di negeri ini tak dihargai pemerintah dengan minimnya anggaran untuk membiayai projek penelitian; baik teknologi, biologi, kedokteran, ilmu sosial, budaya, dan ilmu-ilmu lain. Sehingga yang terjadi adalah “lesunya” aktivitas penelitian dan pengembangan yang dilakukan bangsa ini. Hanya segelintir peneliti dan ahli saja yang dapat menerbitkan karya penelitiannya, ujicobanya, dan penemuannya di jurnal-jurnal bertaraf internasional.
Saya membaca berita dari koran Pikiran Rakyat (21/01/10) di mana SBY berpidato, “Menjadi bangsa yang menguasai iptek mengharuskan kita menjadi bangsa inovatif. Indonesia harus menjadi rumah bagi manusia kreatif.” Beliau pun mengutarakan maksudnya untuk membentuk Komite Inovasi Nasional (KIN) agar negeri ini menjadi negeri yang unggul. (HU Pikiran Rakyat, 21/1/10). Saya sependapat dengan SBY ikhwal Indonesia mesti dijadikan tempat bagi manusia kreatif. Namun, cukupkah hanya dengan menaikkan anggaran pengembangan riset sebesar Rp.1,9 triliun dari tahun sebelumnya yang hanya Rp. 1 triliun? Pertanyaannya, bagaimana bentuk kongkrit kerja Komite Inovasi Nasional (KIN)? Apakah keberadaannya dapat menaungi, membimbing, dan membiayai inovator ketika hendak melahirkan produk teknologis? Kemudian, apakah karya inovasi anak bangsa tersebut dapat dimanfaatkan guna menopang keajegan ekonomi di negeri ini?
Betul, saya pikir, kalau Indonesia merupakan tempat manusia-manusia kreatif. Akan tetapi, keberadaan mereka mesti diperhatikan oleh para pemangku jabatan. Tanpa adanya perhatian, tak ubahnya bagai segerombol ikan mas di dalam kolam, yang tak diperhatikan majikannya. Ikan tersebut akan mati sia-sia. Pun begitu dengan yang terjadi pada generasi muda bangsa ini. Tanpa memiliki “political will” dari para politisi, pejabat, dan abdi negara lain yang terkait [stakeholders]; kejeniusan, kreativitas dan inovasi mereka akan terhambat. Akibatnya, negeri ini akan ditinggalkan para kreator ulung.
Saya tidak begitu setuju kalau Indonesia “minim orang-orang hebat”. Saya juga tak begitu senang kalau kita terjebak pada romantisme historik yang skeptis. Bung Karno, Tan Malaka, Bung Hatta, Jendral Ahmad Yani, Muhammad Natsir, H. Agus Salim, Muhammad Yamin dan para “founding father” lainnya merupakan orang-orang hebat. Kita melupakan ajaran bernegara yang diletakkan mereka. Ketika negeri ini merdeka, mereka optimis memandang masa depan tanpa terus terjebak pada romantisme masa lalu. Dalam pikiran mereka hanya satu, bagaimana pemikirannya dapat menyuntikkan semangat untuk bangkit bagi bangsa ini.
Kita kehilangan falsafah “garam” dalam bernegara, lebih mementingkan falsafah “gincu” ketika terjun di ranah politik praktis. Yaitu tadi, yang terjadi adalah kita menebarkan simbol-simbol kepartaian yang bersifat “cangkang” luar. Ketika parpol sekelas PKS memproklamirkan inklusifitas, kita rame-rame mencela bahkan mengancam untuk tidak akan memilihnya pada pemilu mendantang. Padahal, saya lihat inilah bentuk kemajuan berpikir umat Islam; di mana perjuangan menegakkan nilai-nilai dalam berpolitik tidak perlu menggunakan “merek” Islam. Selamat buat PKS yang kini terbuka pada berbagai golongan. Yang jelas, mari kita bangkitkan negeri ini. Bukan malah dirusak dengan menebarkan laku korup.
Kreativitas warga kita mesti diarahkan pada sesuatu yang positif. Bukan kreatif ketika menilap anggaran saja. Apalagi, di era kebebasan informasi ini. Menjadi keniscayaan bagi berbagai pihak terkait untuk mendukung warga-bangsa memperoleh haknya dalam mengembangkan minat, bakat, inovasi, dan kreativitasnya dengan pemberian penghargaan dari para pemanggku kebijakan. Tanpa ada dukungan dari mereka, bersiap-siaplah kalau anak bangsa ini banyak yang berlarian ke negeri orang. [Sukron Abdilah/jejaringku]
0 komentar:
Posting Komentar