Rabu, 22 Desember 2010

Akar Kekerasan

Berita tentang perampokan, terorisme, bentrok massa, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali mengentak bangsa Indonesia. Apalagi, kasus-kasus tersebut diberitakan televisi maupun koran secara eksklusif. Yang memprihatinkan bahwa berita tentang kekerasan tersebut dihadapi dan dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang terkenal santun, beragama, dan berbudaya.

Menengok pada perilaku-perilaku serupa pada zaman peradaban lampau, tampaknya kekerasan bukan hal baru dalam kehidupan manusia. Namun, pada abad ilmu pengetahuan dan peradaban manusia yang semakin mapan, perilaku manusia itu bukan semakin sopan dan beradab, melainkan semakin rapuh dan biadab.
Tataplah, misalnya, kekerasan di Jalur Gaza, Palestina; kriminalitas di sudut-sudut kota di Amerika; perang antaretnis dan sekte keagamaan di Afghanistan, penyiksaan terhadap pembantu rumah tangga di Malaysia, hingga aksi sejumlah kekerasan massa di Indonesia. Memperhatikan berbagai kekerasan yang dilakukan umat manusia tersebut, memicu dan memacu pikiran kita dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan radikal guna mencari setiap akar pemicu kekerasan antarmanusia sebagai makhluk Tuhan yang paling bertanggung jawab di bumi.
Keprihatinan terhadap kekerasan yang dilakukan umat manusia akhir-akhir ini, khawatir menimbulkan gelombang kekerasan yang lebih akut dan luas, apabila tidak dilakukan upaya-upaya penanggulangannya secara protektif , kuratif, dan preventif. Setiap ada tindakan kekerasan, baik kekerasan atas dasar persoalan ekonomi, politik, maupun agama, pemerintah sering dijadikan tumpuan segala kekesalan sekaligus harapan guna meredakan keadaan.
Mengapa umat manusia begitu dekat dengan kekerasan? Apakah kekerasan yang terjadi bertubi-tubi ini merupakan fakta-fakta realistis sehingga kekerasan atas nama apa pun dibenarkan karena begitu adanya, atau dalam bahasa lain, apakah kekerasan merupakan watak bawaan manusia yang tidak bisa dihindari dari kehidupan? Apabila jawabannya ya, barangkali kita hanya mampu berusaha bagaimana menghindari dan meminimalisasi tindakan tersebut.
Namun, apabila pertanyaannya, apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan manusia antara satu dan lainnya, persoalannya sangat faktual. Dengan demikian, kita sebagai umat manusia dengan peran masing-masing elemen masyarakat akan tahu diri, menjaga diri, dan sadar diri akan pentingnya hidup bersama.
Agresi
Secara harfiah agresi artinya “bergerak” , “pergi”, “melangkah” ke depan, lawan kata aggredi, yaitu bergerak ke belakang. Agresi ialah bergerak ke depan ke arah tujuan tanpa perasaan segan, ragu, maupun takut (Eric Fromm, 2000:264). Agresi dalam psikologi sangat dekat dengan sikap penegasan diri dan kejantanan sehingga tidak heran apabila seseorang begitu agresif, seperti ambisi jabatan atau mendekati lawan jenis, disebut jantan atau gentle.
S Freud (1930) dalam Introductory Lecturers on Psychoanalysis yang sangat populer, tapi klasik tersebut, membagi dua insting manusia secara dikotomis; insting kehidupan disebutnya “eros” dan insting kematian (death instinct). Agresi merupakan akar kekerasan berasal dari insting atau dorongan kematian ini. Bahkan, menurutnya lagi, bahwa death instinct merupakan kekuatan biologis dalam semua organisme kehidupan. Meskipun teori ini banyak ditolak oleh rekan Freud, tetapi perlu direnungkan seperti pertanyaan terdahulu, apakah kekerasan itu merupakan bawaan atau terjadi karena faktor interaksi sosial.
Apabila mengacu pendapat Freud tersebut, kekerasan muncul, seperti yang terjadi akhir-akhir ini, merupakan bawaan manusia. Manusia dalam dirinya memiliki dorongan untuk menyerang, menyiksa, bahkan membunuh dirinya maupun orang lain. Perilaku agresif pada dasarnya bukan merupakan reaksi terhadap stimuli luar, melainkan rangsangan dalam yang sudah “terpasang” secara mekanis dan mencari pelampiasan dan diekspresikan sekalipun dengan rangsangan luar yang sangat kecil.
Apakah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang tertentu-seperti yang terjadi di Indonesia-pelakunya itu muncul secara spontan, insidental, atau telah direncanakan. Berdasar pada penyelidikan beberapa kasus kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini, ternyata fakta membuktikan bahwa kekerasan tidak steril dari prakondisi dan kondisi yang terjadi sebelumnya.
Ideologi agama, frustrasi sosial, dan kekecewaan terhadap keadaan serta pembiasaan-pembiasaan terhadap potensi tersebut menjadi penting untuk ditelaah karena telah menjadi pemicu lahirnya kekerasan.
Perspektif Islam
Tanggapan para psikolog tentang kekerasan seperti tidak memuaskan kita, baik pada aspek kemunculannya maupun aspek aktualisasi. Namun, bila menengok pada Islam, kekerasan yang berujung pada kerusakan muncul bersifat potensial. Potensi merusak ada pada diri manusia karena dorongan hawa nafsu, lebih tepatnya nafsu lawamah (nafsu panas dan kasar) di samping nafsu muthmainnah (nafsu tenang dan lembut). Yang pertama, lebih cenderung pada kerusakan, sementara yang kedua cenderung pada ketakwaaan.
Fitrah sebagai makhluk mikrokosmos telah memosisikan manusia memiliki pilihan dengan perangkat akal sehat. Jadi, mungkin saja benar apa yang dikatakan Freud maupun Lorenzs bahwa potensi agresi yang cenderung pada kekerasan merupakan potensi dalam diri manusia. Namun, pada proses aktualisasinya manusia bisa menggunakan akalnya, apakah potensi tersebut baik atau buruk bila dilakukan. Jika yang dilakukan menimbulkan keburukan, hawa nafsu yang lebih dominan. Begitu sebaliknya, jika kebaikan yang dilakukan, kebaikan dan kemaslahatan yang diperoleh.
Kekerasan, apa pun bentuknya, merupakan tindakan yang mengikuti hawa nafsu, sementara kebaikan merupakan nafsu yang diarahkan melalui pertimbangan akal sehat. Terorisme dan bentuk kekerasan lainnya merupakan ketidakberdayaan manusia menggunakan akal sehat sehingga segala jalan pintas tindakan kekerasan demi terwujudnya keinginan dilakukan tanpa mempertimbangkan efek negatif yang merugikan orang lain.
Segala bentuk kekerasan adalah akibat tindakan manusia, bukan karena dorongan itu sendiri. Hal-hal yang masih dalam angan-angan atau dorongan kekerasan dalam Islam tidak terkena hukum. Namun, bila dorongan tersebut teraktualisasi dalam tindakan, ia terkena tindakan hukum. Oleh karena itu, kekerasan dalam Islam harus ditindak atas pertimbangan hukum dan kemanusiaan. Dan, membiarkannya merupakan tindakan lalai sama dengan menyetujui tindakan kekerasan tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting