Rabu, 22 Desember 2010

Belajarlah ke Kampung

Bentrokan dua massa di depan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan di Jalan Ampera, Rabu (29/9), benar-benar mencekam. Bentrokan berdarah itu menyebabkan tiga orang tewas sia-sia. Di hari yang bersamaan, bentrok dua warga juga pecah di Tarakan, Kalimantan Timur, yang menyebabkan dua orang tewas.

Bentrok di Tarakan merupakan lanjutan dari bentrok sebelumnya yang sudah pecah sejak Minggu (26/9) lalu. Terhitung sejak Minggu hingga Rabu (29/9), bentrok Tarakan menelan korban 5 orang tewas.
Apa yang terjadi di Jakarta dan Tarakan sangat mengenaskan. Saat saya menonton televisi, saya menyaksikan seseorang pemuda yang terluka parah berlari-lari sesekali terjatuh. Pemuda yang terluka ini tidak ada yang menyelematkan di antara kerumunan orang. Leher si pemuda dan sekujur tubuhnya tampak merah karena darah yang terus becucuran. Di sisi lain, masih yang saya tonton di televisi, segerombolan pemuda menenteng senjata tajam dengan santainya sambil mengejar kelompok massa yang menjadi lawan.
Di Tarakan tak kalah mencekamnya. Di Tarakan, saya juga menonton di televisi, ratusan warga mengejar warga lainnya dengan menggunakan senjata tajam juga. Mereka terlibat bentrok dengan identitas masing-masing. Kelompok warga yang menjadi lawannya memakai ikat kepala yang berbeda dengan lawan. Sementara orangtua mereka, anak-anak mereka, tetangga mereka, mengungsi karena ketakutan.
Bentrokan dua massa bukan barang baru karena sudah berlangsung sejak lama. Namun bukan berarti bentrokan menjadi tradisi di Tanah Air yang masyarakatnya dikenal sangat ramah dan sopan.
Di kampung-kampung pun, bentrokan dua massa yang melibatkan banyak orang juga sering terjadi. Pemicunya beragam, bisa karena rebutan pacar, bersenggolan, atau karena pertandingan sepakbola. Hanya masalahnya, bagaimana seharunya meredam bentrokan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
KISAH DI KAMPUNG
Saya punya pengalaman unik di kampung saya sekitar tahun 1980-an. Saat itu, para pemuda di kampung saya menyelenggarakan pertandingan sepakbola tingkat kelurahan yang diikuti puluhan tim kesebelasan. Kompetisi sejak babak penyisihan hingga babak perempat final berlangusng lancar. Warga pun-termasuk saya-menikmati kompetisi ini sebagai hiburan saat sore hari.
Memasuki babak final suasana mulai memanas karena tim yang lolos memiliki suporter masing-masing yang fanatik. Mereka melakukan dukungan dengan caranya masing-masing. Mengantisipasi bentrok saat pertandingan, panitia mewanti-wanti para pemain dan para suporter agar bermain fair saat kompetisi memasuki babak final yang menemukan dua tim dengan pendukungnya yang fanatik itu.
Namun saat pertandingan baru berlangsung 30 menit, bentrokan antar-pendukung pecah. Pemicunya karena salah satu pemain menjatuhkan lawan dengan keras. Tidak terima dengan perlakuan itu, para suporter berhamburan masuk ke dalam lapangan dan mengejar pemain yang melakukan pelanggaran keras itu. Sementara suporter lawan yang melihat pemainnya dikejar pun masuk ke dalam lapangan untuk menghalau laju suporter. Adu jotos tak terelakan. Ada beberapa pemuda yang terluka. Namun tidak ada korban yang tewas. Bentrokan baru bisa dilerai sekitar 15 menit setelah aparat kepolisian dan panitia menenangkan para suporter dan para pemain.
Pertandingan dihentikan sejenak. Panitia berembug untuk mengantisipasi bentrok susulan karena masing-masing suporter masih berkumpul di lapangan. Tidak lama kemudian panitia mengambil keputusan yang dinilai adil. Kedua tim dinyatakan sebagai juara pertama. Jadi juara satu dalam kompetisi di kampung saya itu, ada dua. Pertandingan pun dihentikan dan hadiah akan dibagikan pada puncak peringatan 17 Agustusan. Kedua tim dan suporter menerima keputusan panitia.
Apa yang terjadi di kampung saya, saya nilai sebagai sebuah kearifan lokal yang dapat menyelesaikan konflik massa dengan harga yang sangat murah. Hasilnya pun sangat mujarab, karena kemudian tidak lagi terjadi bentrok susulan yang lebih parah.
Mestinya bentrokan di Jakarta dan Tarakan dapat diselesaikan dengan cara-cara yang dilakukan orang-orang di kampung saya itu. Caranya, kedua belah pihak yang bertikai harus dijadikan sebagai ‘pemenang’. Pemerintah dan aparat kepolisian tidak boleh mengambil kebijakan yang diskriminatif. Keputusan untuk melerai bentrok dua massa itu harus berdasarkan keadilan dan kemaslahatan.
Bentrok di Jakarta yang dipicu oleh keributan sebelumnya di Blowfish-yang kasusnya sudah memasuki persidangan- harus diputuskan dengan seadil-adilnya. Pelaku yang terbukti bersalah harus dihukum seadil-adilnya. Majelis hakim jangan sampai salah memutuskan perkara Blowfish. Sebab salah sedikit saja memutuskan perkara ini, bentrok susulan di luar persidangan tentu akan merebak. Jadi, keputusan yang adil bagi pelaku kerusuhan di Blowfish-yang memicu bentrok susulan di depan PN Jaksel itu-dapat meminimalisasi ketegangan di luar persidangan. Keputusan majelis hakim yang adil yang adil itu-menurut saya menempatkan kedua belah sebagai ‘pemenang’ sebagaimana yang dilakukan orang-orang di kampung saya.
Begitupun dengan bentrok Tarakan dapat diselesaikan tanpa berlarut-larut dengan cara kearifan lokal. Pemerintah dan aparat kepolisian harus menjadikan dua kelompok warga yang bertikai sebagai ‘pemenang’. Tidak boleh ada yang dikalahkan. Menjadikan kedua belah pihak sebagai ‘pemenang’ sama saja dengan menghargai harga diri mereka. Itu yang juga dilakukan oleh orang-orang di kampung saya. (Ahmad Lutfi)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting