Rabu, 22 Desember 2010

DAKWAH : PROSES PENEGAKAN KEADILAN SOSIALd




Menurut Islam,[1] keadilan adalah prinsip dan merupakan hukum seluruh jagad raya, oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmis, dan dosa ketidakadilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia. Hal ini tidak peduli, apakah masyarakat itu (secara formal) terdiri dari masyarakat yang beragama atau tidak. Begitu pentingnya keadilan bagi sebuah tatanan masyarakat, Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa: “Sesungguhnya Allah menegakkan kekuasaan yang adil sekalipun kafir, dan tidak menegakkan yang zalim meskipun muslim”.
Bertolak dari pentingnya keadilan bagi tegaknya sebuah tatanan masyarakat maka menegakkan keadilan mestinya menjadi perhatian dan merupakan salah satu prioritas program bagi para pelaku dakwah dalam kegiatan dakwahnya dalam rangka mewujudkan masyarakat madani. Karena dengan tegaknya keadilan dalam tatanan masyarakat, kesejahteraan sebagai salah satu kebutuhan pokok umat manusia–sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya- dapat segera dapat diwujudkan. Sebab tanpa ditopang oleh tegaknya keadilan sosial usaha para da’i dalam mewujudkan kesejahteraan akan menjadi sia-sia.
Berdasarkan pada asumsi di atas, maka kajian mengenai keadilan sosial merupakan salah satu aspek penting untuk dipahami hubungannya dengan  proses dakwah, karena dakwah tidak semata-mata ditujukan untuk megajak dan menyeru manusia untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat rutinitas ritual (ibadah mahdlah). Dengan kata lain, selain proses mengajak manusia untuk melaksanakan ibadah mahdlah, dakwah  juga merupakan sebuah proses menegakkan keadilan sosial, karena keadilan sosial merupakan pilar dalam mencapai kehidupan masyarakat yang gemah ripah repeh rapih, ayem tentrem kerta raharja (damai dan bahagia).
Sekali lagi, kajian mengenai keadilan sosial merupakan salah satu bagian penting  dalam kegiatan dakwah. Karena tanpa adanya penegakkan keadilan sosial, pengakuan terhadap persamaan, menyuburkan rasa persaudaraan, bahkan kerja keras para da’i dalam meningkatkan kesejahteraan sosial umat manusia tidak akan begitu berarti tanpa didukung oleh tegaknya keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat manusia. Oleh karena itu, menegakkan keadilan sosial bukan lagi dipandang sebagai program yang harus diawali adanya tawar menawar.
Penegakkan keadilan sosial merupakan salah satu kebutuhan utama umat manusia yang ‘bisa jadi” dilupakan oleh mereka yang memposisikan diri sebagai pelaku dakwah (da’i) atau oleh mereka yang sering disebut sebagai penegak agama (Kiyai, ustad, mubaligh dan sebagainya).  Karena  mungkin penegakkan keadilan sosial seringkali dipahami tugasnya para pemimpin bangsa atau tugasnya para penegak hukum (polisi), dan tidak dijadikan sebagai bagian yang melekat dari tugasnya para penyebarkan dan penegak agama. Sehingga ketika menyaksikan drama kehidupan yang tidak adil, para penegak agama –mungkin- tidak begitu tertarik untuk menyelesaikannya,  atau mungkin hanya dapat menuduh atau menunjuk bahwa penegak hukum belum dapat bekerja secara optimal, bahkan seringkali merasa telah terwakili dan merasa bebas dari kewajiban apabila pekerjaan itu telah ditangani oleh para penegak hukum (polisi) yang dipekerjakan oleh negara.
Sekali lagi “bisa jadi” para pemimpin atau penyebar agama (da’i) tidak tertarik atau tidak begitu serius mencari solusi mengenai hal ini. Peratanyaannya adalah adilkah mereka -penyebar dan atau penegak agama atau mereka yang menyandang predikat pelaku dakwah (da’i)- yang membiarkan drama kehidupan ini berjalan secara tidak adil.
Agar tidak berkepanjangan dalam membicarakan kesalahan yang mungkin tidak salah apabila tidak terlalu banyak membicarakannnya maka pada bagian ini kita akan lebih banyak membicarakan dan mencoba menjawab pertanyaan yang telah kita sebut-sebut diawal kajian ini, yaitu apa sih yang disebut adil itu. Jangan-jangan pemahaman  saya, anda, mereka, dan pemahaman kita semua mengenai adil dan keadilan sosial itu sendiri ditempatkan secara tidak adil, atau mungkin pemahaman kita mengenai adil dan keadilan sosial itu sangat dikerangka oleh logika material yang selama ini kita jadikan patokan untuk menentukan kedudukan sesuatu disebut adil atau tidak adil. Sehingga keadilan dan ketidakadilan ukurannya hanya sebatas pembagian sesuatu yang sifatnya material dan tidak dapat lebih dari itu.
Apabila pemahaman mengenai keadilan hanya sebatas pembagian sesuatu yang sifatnya material, maka wajar apabila saya, anda atau kita semua selama ini “tidak merasa tidak adil” ketika tidak memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk merasakan atau mendapatkan kehidupannya sebagaimana layaknya manusia. Karenanya menjadi adil, apabila dikatakan bahwa yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan dalam kehidupan umat manusia adalah mereka yang meyandarkan dirinya dengan predikat-predikat penegak agama atau predikat-predikat lainnya yang begitu agung. Atas dasar itu,  maka yang harus bertanggung jawab yang pertama dan utama dihadapan Tuhan mengenai ketidakadilan yang telah terjadi dalam panggung kehidupan umat manusia adalah mereka yang menyandang predikat-predikat agung itu, bisa guru, dosen, ustad, kiyai, mubaligh dan tentunya juga mereka para pemimpin dan mereka yang diakatakan sebagai pengusung dan penegak keadilan itu sendiri.

 Adil dan Keadilan Sosial
Adil merupakan kata sifat, sedangkan konsep keadilan itu sendiri merupakan kata benda sebagai perwujudan atau buah dari tindakan atau perbuatan yang adil itu. Selain itu, konsep adil dipahami juga sebagai konsep sosial, karenanya konsep tersebut baru berarti jika dipakai dalam konteks sosial.
Sehingga adil dipahami sebagai tindakan yang berbentuk berimbangnya perlakuan kebenaran terhadap dua pihak atau lebih yang mempersoalkan perlakuan tersebut. Dengan demikian, berimbangnya perlakuan kebenaran atas keadaan adil atau tidak adil akan sangat ditentukan oleh rasa keadilan yang ada pada diri si pelaku keadilan itu. Selain itu,  rasa keadilan itu sendiri dibentuk secara sosial, sekalipun betul bahwa rasa keadilan tersebut telah ada secara potensial dalam fitrah kemanusiaan seseorang.[2]  
Dalam agama, konsep adil merupakan sifat mutlak Tuhan terhadap manusia dan alam ciptaan-Nya, sehingga Tuhan disebut sebagai Maha Adil. Bahkan dalam kajian teologi, keadilan Tuhan menjadi salah satu topik penting dalam perdebatan dan kajian para teolog, karena Tuhan sebagai Maha Adil, dimana pengertiannya sekaligus mencakup pengertian bahwa Tuhan Maha Bijaksana dan Maha Benar. Oleh karena itu, pemahaman bahwa Tuhan sebagai dzat Maha Adil merupakan keyakinan sekaligus pengakuan bagi penganutnya. Sehingga segala sesuatu yang diatur Tuhan diyakini sebagai sesuatu yang paling benar, paling bijaksana, dan karenanya pula sebagai sesuatu yang paling adil,[3] termasuk didalamnya ketika Tuhan menurunkan syari’ah kepada manusia. Karena syari’ah yang disampaikan Tuhan kepada manusia diyakini pada pokoknya merupakan aturan Tuhan dan juga sebagai usaha Tuhan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi agar manusia dapat melakukan dan menegakkan keadilan terhadap semua manusia.
Begitu pentingnya keadilan bagi manusia maka  keadilan merupakan kebutuhan dan sekaligus masalah umat manusia sepanjang zaman. Atas dasar itu, wajarlah apabila masalah keadilan menjadi topik pembaicaraan sejak awal, bahkan merupakan salah satu kajian dan perdebatan diantara para filosof sejak abad ke-6 SM. Karena keadilanlah yang sanggup menjelmakan kebaikan dan kebajikan dalam negara.[4] Bahkan karena begitu pentingnya keadilan bagi manusia para filsuf sejak awal telah merumuskan mengenai apa yang disebut keadilan, terlepas dari benar atau salah dari hasil rumusannya.
Diantara para Filosof yang pernah memberikan rumusan mengenai keadilan adalah Plato. Bagi Plato keadilan adalah kebaikan yang tidak dapat dijelaskan dengan argumentasi rasional tetapi terdapat dalam tindakan seseorang dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dan sikapnya menjaga diri dalam batas-batas yang ditentukan. Pernyataan Plato ini, seolah-olah menyerukan kepada setiap orang  agar sekuat tenaga berusaha melaksanakan kewajibannya  sesuai dengan tingkatan dimana ia berada.[5]
Lebih dari itu, Plato menyatakan bahwa kehidupan individu dan masyarakat (mencakup para penguasa  dan yang dikuasi) yang benar-benar berarti dan bermakna ialah bilamana kehidupan individu dan masyarakat itu sendiri telah diwarnai begitu rupa oleh kebijakan, kebaikan, dan keadilan. Prinsip-prinsip abstraks mengenai kebijakan, kebaikan, dan keadilan itulah yang menjiwai filsafat politik Plato yang tersebar dalam berbagai hasil karya tulisnya, terutama yang terdapat dalam bukunya yang berjudul Republic, yang telah berhasil meraih pengakuan sebagai hasil seni sastra yang paling besar yang pernah ditulis di bidang filsafat.[6]
Sementara menurut Aristoteles sebagai murid Plato, dalam kajinya mengenai keadilan dia melakukan cara yang berbeda dengan gurunya. Menurutnya, keadilan berisi suatu unsur kesamaan, dan menuntut bahwa benda-benda yang ada di dunia ini dibagi secara rata yang pelaksanaannya dikontrol oleh hukum.[7] Lain halnya dengan Herbert Spencer, ia telah mengambil sikap fundamental mengenai keadilan. Nilai tertinggi yang ia letakkan kepada teori keadilan bukanlah kesamaan tetapi kebebasan. Formula Spencer yang terkenal mengenai keadilan adalah “setiap orang bebas melakukan apa pun yang ia inginkan asalkan tidak menggangu  orang lain.[8]
Kelsen dalam hal ini, telah berusaha mereduksi sejumlah teori keadilan menjadi dua polar, yaitu rasional dan metafisik, yang pertama diwakili oleh Aristoteles sedangkan yang kedua diwakili oleh Plato. Ia menjelaskan, tipe rasional sebagai tipe  yang berusaha menjawab pertanyaan tentang keadilan dengan cara mendefinisikannya  dalam suatu pola ilmiah atau quasi ilmiah. Sementara tipe metafisik merupakan realisasi dari sesuatu yang diarahkan ke dalam dunia lain  di balik pengalaman manusia.[9]
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata adil diartikan (1) tidak berat sebelah atau tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran, (3) sepatutnya atau tidak sewenang-wenang. Persamaan yang merupakan makna asal kata adil itulah yang menjadikan pelakunya tidak berpihak, dan pada dasarnya pula seorang yang adil berpihak kepada yang benar, karena baik  yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut juga tidak sewenang-wenang.
Sedangkan konsep adil (‘adl) dalam Kitab Suci terkait erat dengan sikap seimbang dan menengah (fair dealing), dalam semangat moderasi dan toleransi, yang dinyatakan dengan istilah wasath (pertengahan),[10] yaitu sikap berkeseimbangan antara dua ekstremitas serta realistis dalam memahami tabiat dan kemungkinan manusia, dengan menolak kemewahan maupun asketisme berlebihan.[11] Dimana sikap seimbang tersebut merupakan pancaran langsung semangat tauhid atau keinsafan mendalam akan hadirnya Tuhan yang Maha Esa.[12]
Selain itu, kata ‘adl dengan berbagai bentuknya dalam Kitab Suci (al-Qur’an) terdapat dua puluh delapan kali pengungkapan dan tidak satu pun yang dinisbatkan kepada Allah menjadi sifat-Nya. Dari berbagai ungkapan keadilan dalam al-Qur’an, paling tidak para pakar agama  memberikan empat makna keadilan. Pertama, adil dalam arti sama. Anda dapat berkata bahwa si A adil, karena yang anda maksud adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Akan tetapi dalam hal ini harus digaris bawahi bahwa persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak.[13]      
Kedua, adil dalam arti seimbang. Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian (proporsional), bukan lawan kata kezaliman. Berkenaan dengan pengertian yang kedua ini, penting untuk pahami bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang, karena  bisa saja bagian tertentu berukuran kecil atau besar. Sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.
            Ketiga, adil adalah perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian ketiga inilah yang seringkali didefinisikan atau dipahami “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat. Lawannya adalah kezaliman, dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian, ketika seseorang  menyirami tumbuhan adalah keadilan dan ketika seseorang menyirami duri adalah tidak adil. Pengertian keadilan seperti ini yang melahirkan keadilan sosial.
            Sedangkan yang keempat adalah konsep adil yang dinisbatkan kepada Ilahi.  Adil di sini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Namun demikian, semua wujud tidak memiliki hak atas Allah, karena keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah Swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejuah makhluk itu dapat meraihnya. Dalam pengertian seperti inilah harus dipahami kandungan firman Allah yang menunjukkan Allah SWT. sebagai qaiman bilqisth (yang menegakkan keadilan).[14] 
            Dari sudut pandangan kosmologis al-Qur’an, konsep tentang keadilan (‘adl, secara etimologis berarti tengah dan seimbang) terkait erat dengan pandangan tentang hukum keseimbangan (mizan) yang menguasai jagat raya, disertai pesan agar kita tidak melanggar hukum keseimbangan itu.[15] Jadi melanggar keadilan, yaitu perbuatan zalim, adalah sebuah dosa kosmis (melanggar aturan jagat raya atau alam semesta), sebuah dosa yang amat besar, dan bukan sekadar dosa pribadi. Karena itu ancaman Allah untuk menghancurkan suatu negara, bangsa, masyarakat, umat, dan lain-lain, disangkutkan dengan kezaliman sosial. Sehingga apabila sebuah  masyarakat tidak dibangun atau tidak mewujudkan keadilan akan dihancurkan oleh Allah, tanpa peduli apakah masyarakat itu secara formal mengaku menganut ajaran yang benar atau tidak.[16]
Dengan demikian, keadilan yang diungkapkan oleh al-Qur’an dengan kata-kata al-‘adl, al-qisth, al-mizan,  dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. ‘Adl,  yang berarti sama, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi persamaan[17]. Sementara Qisth  arti asalnya adalah bagian (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya persamaan. Bukankah bagian dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth lebih umum daripada kata ‘adl, dan karena itu pula ketika al-Qur’an menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya.[18] Sedangkan konsep Mizan  sendiri berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan atau alat yang digunakan untuk menimbang. Namun dapat pula berarti keadilan, karena bahasa seringkali menyebut alat untuk makna hasil penggunaan alat itu.
            Berdasarkan  makna keadilan sebagaimana disebutkan di atas, paling tidak  dapat dipahami bahwa al-Qur’an dengan beberapa istilah yang digunakannya untuk menunjuk sesuatu yang berkaitan dengan adil menuntut pada umat manusia bahwa selain keadilan dalam proses penetapan hukum, menyelesaikan yang berselisih, adalah juga keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis, atau bersikap batin.[19] Selain itu, dapat pula dipahami dari ketiga kata qisth, ‘adl,  dan mizan dengan berbagai bentuk yang digunakannya merupakan konteks perintah kepada manusia untuk berlaku adil karena keadilan merupakan salah satu sendi kehidupan bermasyarakat. Begitu pentingnya keadilan dalam kehidupan manusia Quraish Shihab menyatakan bahwa keadilan lebih utama daripada kedermawanan atau ihsan.[20]   


Kebutuhan Manusia akan adanya Keadilan
            Jika keadilan dikaitkan dengan agama, maka yang pertama dapat dikatakan ialah bahwa usaha mewujudkan keadilan merupakan salah satu dari sekian banyak sisi kenyataan tentang agama. Oleh karenanya salah satu dari sekian banyak tugas dan ajaran yang dibawanya adalah untuk usaha menegakkan keadilan, memperjuangkan golongan yang “tidak beruntung”, karenanya keadilan merupakan hakikat kemanusiaan serta bagian dari sunatullah.
Sebagai sunatullah maka menegakkan keadilan menjadi kewajiban bagi setiap manusia sebab tegaknya keadilan akan menciptakan kebaikan bagi masyarakat manusia, dan mengabaikannnya akan mengakibatkan malapetaka bagi masyarakatnya  tanpa peduli apakah masyarakat itu beragama (Islam) atau bukan. Begitu pun sebaliknya bagi masyarakat yang tidak menegakkan keadilan atau mengabaikan keadilan  dengan membiarkan kemewahan yang anti-sosial, tidak bersedianya menyisihkan sebagian hartanya untuk menolong dan memperjuangkan kaum yang lemah (al-mustadl’afin) atau kaum tertindas, tidak memperjuangkan perlakuan yang sama dalam hak bagi  setiap orang, tidak membagi beban kehidupan secara proporsional atas semua manusia, tidak memberikan perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya dengan  “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terbaik atau pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain maka tinggal menunggu kehancuran, karena tanda-tanda dekatnya kehancuran suatu masyarakat atau bangsa adalah ketika ketidak adilan sudah ditegakkan di dalam masyarakat atau bangsa tersebut.
Begitu pentingnya keadilan bagi suatu masyarakat, al-Qur’an menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan bermasyarakat adalah keadilan, tidak lebih dan tidak kurang. Maka berbuat baik melebihi keadilan seperti memaafkan yang bersalah atau memberi bantuan kepada yang malas akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan lebih dari itu akan merusak tatanan masyarakat. Memang Al-Qur’an memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan seperti bunyi firman-Nya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan”.[21] Karena ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama  daripada kedermawanan atau ihsan.[22]
            Ihsan  di sini adalah memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya, atau memperlakukan yang bersalah dengan perlakuan yang baik. Ihsan  dan kedermawanan merupakan hal-hal yang baik pada tingkat antar individu, tetapi dapat berbahaya jika dilakukan pada tingkat  masyarakat. Imam Ali r.a. pernah bersabda, “Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan ihsan (kedermawanan) menempatkannya bukan pada tempatnya”.[23]
            Oleh karenannya, keadilan menurut Islam adalah merupakan kebaikan yang paling tinggi dibandingkan dengan sistem keadilan yang lain, baik Yunani, Romawi maupun hukum manusia lainnya, maka keadilan Islam mencari motif yang paling dalam. Sarakhsi dalam hal ini mengatakan “memberikan keadilan merupakan langkah takwa  yang paling mulia”.[24]  Bahkan menurut Kasani, keadilan merupakan salah satu ketakwaan yang paling baik dan salah satu kewajiban paling penting setelah iman kepada Allah.[25]
            Dengan demikian, dalam Islam keadilan memiliki pengertian tersendiri, Ia sama dengan suatu keyakinan suci, suatu kewajiban yang dibebankan kepada manusia untuk dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan jujur. Hal tersebut mengidentifikasikan kepentingan-kepentingan seseorang dengan orang lain dan melaksanakan keyakinan itu dengan segala kesungguhan seolah-olah merupakan ketakwaan, karena keadilan itu sendiri merupakan implementasi dari ketakwaan seseorang. Sehingga dalam penegakkan keadilan  tidak boleh ada unsur subjektif dalam keadilan karena keadilan itu sendiri bersifat objektif. Karena itu, dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa keadilan harus dijalankan dengan teguh sekalipun mengenai karib-kerabat dan sanak-famili atau teman-teman sendiri, dan jangan sampai  kebencian terhadap suatu golongan membuat orang tidak mampu menegakkan keadilan.  Sehingga sikap berpikir yang dituntut dan dianjurkan oleh Islam kaitannya dengan keadilan, adalah berpikir reflektif dan pendekatan objektif terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Karena itu, adalah kualitas berlaku adil secara moral dan rahmat dalam memberikan kepada setiap manusia akan haknya.[26]

Memposisikan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
            Keadilan sosial meruapakan salah satu dari hakikat kemanusiaan, sehingga keadilan itu merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Sehingga keberadaannya tidak dapat ditawar-tawar lagi dan merupakan kemestian dalam menciptakan masyarakat yang baik, masyarakat yang damai, masyarakat yang dilingkupi oleh individu dan komunitas yang sejahtera. Akan tetapi di sisi lain keadilan yang begitu penting dan dibutuhkan bagi kehidupan manusia keberadaannya tidak bersifat sim salabim, tapi harus diperjuangkan. Dengan demikian, dibutuhkan proses yang dapat menciptakan tegaknya keadilan.
            Perjuangan manusia mengenai keadilan sudah diperjuangkan sejak manusia mengenal peradaban di lembah Sawad (Mesopotamia, Irak sekarang) sekitar 6000 tahun yang lalu, persoalan masalah keadilan merupakan tantangan hidupnya yang tidak pernah berhenti diperjuangkan.[27] Terutama ketika manusia mendapati dirinya, persis karena adanya kemakmuran, manusia harus menyusun masyarakat dengan membagi pekerjaan, termasuk kekuasaan, antara anggotanya, maka mulailah masyarakat manusia tersusun menjadi tinggi rendah, dengan yang kuat menguasai yang lemah. Sehingga mengakibatkan kehidupan manusia tidak sesederhana sebagaimana kehidupan sebelumnya dan pada akhirnya tercipta masyarakat yang kompleks dengan berbagai kepentingan setiap individu sebagai anggota masyarakatnya.
            Kompleksitas kehidupan masyarakat manusia dengan berbagai konflik kepentingan (complict of interest) masing-masing mendorong manusia keluar dari fitrahnya sebagai manusia yang memiliki sifat dasar kesucian dan mengaikabtan manusia terjebak dalam kepentingannya masing-masing dan menjadikan manusia terbuang dari sifat dasar kesuciannya tersebut, yang memposisikan manusia pada posisi yang lebih rendah dari bintang, dengan karakter lebih mementingkan dirinya atau kelompoknya dan mengabaikan kepentingan orang lain tanpa menghiraukan apakah cara yang digunakannya itu benar atau salah. Akumulasi dari berbagai kepentingan yang diperjuangkan dengan tidak menghiraukan baik atau buruk, benar atau salah adalah terjadinya penyimpang-penyimpangan sosial baik penyimpangan dalam wujud pembangkangan individu atau penyimpangan yang dilakukan secara kolektf, yang berakibat terbentuknya tatanan kehidupan yang tidak berimbang, kehidupan yang tidak memperhatikan hak-hak orang lain, dan kehidupan yang tidak berkeadilan. Sekalipun –sekali lagi- keadilan itu merupakan kebutuhan dasar manusia, karena rasa keadilan dari setiap pribadi dikotori oleh nafsu-nafsu yang didorong oleh kepentingan pribadi.
Dalam memperjuangkan keadilan sosial sebagai usaha untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan mengalahkan perilaku yang tercela yang mengakibatkan kehancuran umat manusia, Islam dalam hal ini memberikan formulanya dengan amar ma’ruf nahi munkar[28] yang berperan sebagai kontrol sosial dalam perjalanan kehidupan masyarakat. Bahkan lebih dari itu, amar ma’ruf nahi munkar sekaligus sebagai perintah kepada setiap individu yang berada ditengah-tengah kehidupan masyarakat manusia.
Esensi dari formula amar ma’ruf nahi munkar[29] adalah menentang penyimpang-penyimpangan sosial baik penyimpangan dalam wujud pembangkangan individu terhadap kehendak Allah Swt. dalam urusan peribadatan, dan mua’malah maupun penyimpangan sosial dalam perilaku bersama yang jauh dari garis risalah yang mencakup kepentingan individu maupun masyarakat serta penyimpangan politik dalam bentuk  kondisi pemerintahan zalim yang tercemin dalam diri tiran-tiran politik yang menindas orang-orang lemah, yang menyebabkan pemerintah berubah menjadi praktek-praktek penindasan dan permusuhan negara terhadap rakyat dengan maksud mempertahankan kekuasaan dan sistem pemerintahan yang dianggap menguntungkan sekelompok manusia yang berkuasa. Juga penyimpangan politik ekonomi yang terlihat dari sitem politik yang dibangun atas prinsip monopoli, manipulasi, kolusi, riba, korupsi, suap dan perampasan hak-hak orang kecil, orang-oang yang lemah dan cara-cara zalim lainnya.[30]
            Pernyataan senada dinyatakan oleh A. Hasymi, ia menyatakan bahwa amar ma’ruf[31] nahi munkar adalah sebagai usaha untuk membina kebenaran, keadilan, kemerdekaan, untuk mencegah kezaliman, perbudakan dan hawa nafsu, menegakkan kekuasaan yang adil menurut nash dan ruh al-Qur’an, menantang kekuasaan yang kejam (tiran) bertangan besi. Bahkan lebih lanjut A. Hasymi menyatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah menyuruh berbuat kebajikan dan kasih sayang kepada golongan lemah, melaksanakan rencana-rencana perbaikan akhlak dan masyarakat, mencegah berbuat kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang merusak akhlak dan masyarakat.[32]
            Dengan demikian, dapat dikatakan apabila terealisasikan amar ma’ruf nahi munkar akan dapat mengangkat derajat dan keutamaan masyarakat.[33] Lebih dari itu, Ahmad Watik Pratiknya menyatakan bahwa amar ma’ruf [34] merupakan “rehumanisasi”, yaitu mengembalikan kedudukan dan derajat manusia (sebagai sebaik-baiknya makhluk) dari berbagai kecenderungan degradasi kemanusiaan. Sementara nahi munkar dikatakan sebagai usaha pembebasan atau “liberasi”, yaitu memederkakan manusia dari berbagai bentuk keterikatan atau keterjajahan manusiawi (pembebasan dari keterikatan pada selain Allah).[35]
            Bertolak dari uraian di atas, maka upaya merealisasikan keadilan sosial dengan melakukan mar ma’ruf dan nahi munkar dalam masyarakat menjadi kewajiban bagi setiap individu dan kolektif. Sekali lagi dapat kita nyatakan bahwa tujuan dari amar ma’ruf nahi munkar adalah menegakkan keadilan dan terciptanya kemakmuran secara umum. Lain kata, penerapan amar ma’ruf nahi munkar tidak hanya sebatas masalah-masalah yang hanya terkait dengan ibadah mahdlah, akan tetapi lebih luas dari itu, yaitu seluas tujuan risalah Islam yang terangkum dalam al-Qur’an dan seluias masalah hidup dan kehidupan umat manusia. Karenanya menurut Fazlur Rahman bahwa tujuan al-Qur’an adalah menegakkan keadilan,[36] dengan cara menegekkan amar ma’ruf nahi munkar. Atas dasar uraian-uraian tersebut, maka proses dakwah, salah satunya adalah gerakan amar ma’ruf nahi munkar sebagai proses penegakkan keadilan sosial.

Pentingnya Menegakkan Keadilan Sosial Dalam Kegiatan Dakwah

            Keadilan sosial merupkan akibat dari proses pengambilan keputusan berdasarkan kebenaran dari Allah. Keadilan, terlebih mengenai keadilan sosial merupakan konsep yang integral dalam sistem sosial maka erat kaitannya dengan proses perubahan sosial. Karena erat kaitannya dengan proses perubahan sosial maka harus diwujudkan dengan suatu proses transformasi sosial, yaitu mengubah nilai-nilai sosial pada waktu tertentu kepada nilai-nilai sosial yang berkeadilan.
            Dalam Islam, proses transformasi sosial merupakan meruapakan salah satu dari kerja dakwah maka tugas para pelaku dakwah selain proses transmisi ajaran juga melakukan transformasi sosial yang berorientasi kepada masyarakat yang berkeadilan sebagai upaya menanamkan nilai-nilai ketakwaan, karena menegakkan keadilan merupakan langkah takwa  yang paling mulia, bahkan keadilan itu sendiri merupakan ketakwaan seorang manusia yang paling baik dari puncak kesadaran seorang manusia.  Sehingga menegakkan kesadilan sosial merupakan salah satu kewajiban paling penting setelah iman kepada Allah.
Atas dasar pemahaman tersebut, dakwah sebagai proses penyelematan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa mengabaikan penegakkan keadilan sosial sebagai salah satu pilar atau sendi bagi terciptanya masyarakat hasanah, yaitu mengakui adanya persamaan atar sesama manusia, penuh dengan rasa persaudaraan, yang ditopang oleh adanya kesajahteraan lahir dan batin bagi setiap anggotanya.


[1] Q.S. al-Rahman [55]:7-8.
[2] Lihat M. Amin Aziz, dalam Sri Edi Swasono, dkk., Sekitar Kemiskinan dan Keadilan: Dari Cendikiawan Kita Tentang Islam, Jakarta: UI-Press, 1987., hal. 65.
[3] M. Amin Aziz, Ibid.
[4] J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Jakarta: Rajawali, 1991, hal. 2.
[5] Ibid,
[6] J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Jakarta: Rajawali, 1991, hal. v.
[7] Sesuai dengan fungsi ganda keadilan , Aristoteles membedakan dua bentuk keadilan yaitu keadilan distibutif  dan  keadilan korektif. Keadilan yang pertama ditentukan oleh pembuat undang-undang yang distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut persamaan proposional. Sedangkan keadilan yang kedua menjamin, mengawasi dan memelihara  distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal.  Lihat,   Muhammad Muslehuddin,  Ibid, hal. 36.
[8] Lihat Bidenheimer, dalam Muhammad Muslehuddin, Op. Cit. hal. 36.
[9] Muhammad Muslehuddin, Ibid, hal.  37.
[10] Lihat QS. Al-Baqarah [2]:143; “Dan begitulah Kami (Tuhan) telah menjadikan kamu sekalian umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi atas umat manusia, dan Rasul menjadi saksi atas kamu…”.
[11] Muhammad Asad, dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 1992, hal.. 115.
[12] Nurcholish Madjid, Ibid, hal. 116.
[13] Lihat, al-Qur’an surat Al-Nisa [4]:58. yang menyatakan “Apabila kamu memutuskan  perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil” Kata adil dalam ayat ini, bila diartikan sama hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan.
[14] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, hal. 114-117.
[15] Lihat, QS. 55 :7-9
[16] Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keiaman, Kemanusiaan dan Kemodernan,  Jakarta: paramida, 1993, hal. 20.
[17] M. Quraish Shihab, Loc. Cit., hal. 111.
[18] Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Nisa ayat 135 yang berbunyi “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kau penegak al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri”
[19] Lihat, QS. Al-An’am:152 yang berbunyi Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil wlaupun terhadap kerabat…!. Lihat juga, QS. Al-Baqarah:282 yang berbunyi “Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang menulis dengan adil.
[20] M. Quraish Shihab, Op. Cit., hal. 124.
[21] QS. Al-Nahl:90
[22] M. Quraish Shihab, Op. Cit., hal.124.
[23] M. Quraish Shihab, Ibid., hal.124.
[24] Lihat Sarakhsi dalam Muhammad Muslehuddin, Loc. Cit. hal. 81.
[25] Lihat Kasani dalam Muhammad Muslehuddin, Ibid.
[26] Muhammad Muslehuddin, Ibid.  hal. 80.
[27] Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Agama Keamanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995. 177.
[28] Amar ma’ruf nahi munkar merupakan istilah yang berasal dari ungkapan al amru bi al ma’rufi wa alnahyu ‘an almunkari yang ditransferkan dari ayat al-Qur’an  ya’muruna bi alma’rufi wa yanhauna ‘an almunkari  yang seringkari dikemukakan dalam al-Qur’an. Amar ma’ruf nahi munkar adalah dua istilah kembar yang hampir tidak ditemui pemakaiannya secara terpisah. Jarang sekali ditemukan istilah tersebut dipakai secara sendiri-sendiri. Kedua istilah ini sudah meng-Indosesia dalam literatur keagamaan Islam. Lihat, Dra. Djawaher Chaerani, Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Al-Qur’an, laporan Penelitian tidak diterbitkan, Padang: Imam Bonjol, 1997/1998, hal. 2.
[29] Ma’ruf  adalah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan kebaikannya atau sesuatu yang menunjukkan kebaikan. Sedangkan munkar, ialah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan keburukannya  atau sesuatu yang menunjukkan kepada keburukan. Artinya bahwa perbuatan baik (ma’ruf) adalah perbuatan yang pelakunya berhak mendapat pujian (yastahiq al-madh). Sebaliknya perbuatan jahat (al-qabih) apelakunya berhak mendapat celaan (yastahiq al-zamm). Lihata Qadhi Abd. Jabbar dalam Djawaher Chaerani, Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Al-Qur’an, laporan Penelitian tidak diterbitkan, Padang: Imam Bonjol, 1997/1998, hal. 2.
[30] Muhammad Husain Fadlullah, Islam dan Logika Kekuatan, Penterjemah Afif Muhammad, judul asli  Al-Islam wa Mantiq al-Quwwah,  Bandung: Mizan, 1995, Cet. ke-1, hal. 39.
[31] Al-ma’ruf  artinya yang sudah diketahui, berasal dari kata ‘arafa artinya ‘alima yaitu mengetahui. Seorang yang arif  adalah seorang yang tahu banyak hal. Dan al-irfan adalah al-‘ilmu  artinya ilmu pengetahuan. Sedangkan al-‘urf  atau al-‘irf artinya ialah al-sabr yaitu sabar, karena orang yang tahu, berilmu, bisanya sabar dalam menghadapi segala sesuatu hal. Al-ma’ruf  adalah semua hal yang diketahui oleh diri manusia dan ia merasa senang dan tenang,  sesuatu yang diketahui orang banyak dan jika mereka melihatnya mereka tidak menolaknya.

[32] A. Hasymi, Dustur Dakwah Menurut Al-Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal. 242.
[33] Salman Audah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Jakaerta:Pustaka al-Kausar, 1993, hal. 11.
[34] Al-ma’ruf  artinya yang sudah diketahui, berasal dari kata ‘arafa artinya ‘alima yaitu mengetahui. Seorang yang arif  adalah seorang yang tahu banyak hal. Dan al-irfan adalah al-‘ilmu  artinya ilmu pengetahuan. Sedangkan al-‘urf  atau al-‘irf artinya ialah al-sabr yaitu sabar, karena orang yang tahu, berilmu, bisanya sabar dalam menghadapi segala sesuatu hal. Al-ma’ruf  adalah semua hal yang diketahui oleh diri manusia dan ia merasa senang dan tenang,  sesuatu yang diketahui orang banyak dan jika mereka melihatnya mereka tidak menolaknya.
[35] Ahmad Watik Pratiknya, Gerak Dakwah Muhammadiyah Menatap Masa Depan, PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, Yogyakarta, 1409 H, hal. 24.
[36] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Penterjemah Anas Mahyuddin, judul asli, Mayor Themes of The al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1983, Cet. ke-1, hal. 75.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting