Selasa, 21 Desember 2010

Membongkar ”Al-Quran Suci”

Oleh UWES FATONI
 
Tufatul Maulidia (20) atau Lidia alias Ifet adalah mahasiswi Akademi Analis Kesehatan An Naser, Sumber, Cirebon. Gadis Desa Mertapada Kulon Astanajapura Cirebon ini pergi dari rumah sejak 13 Agustus 2007 silam.
Ia diduga bergabung bersama kelompoknya. Terakhir ia masih sempat mengirimkan SMS ucapan selamat Idulfitri kepada keluarganya, namun sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya (”PR”, Jumat, 5/10).
Achriani Yulvie (19) adalah mahasiswi Politeknik Pajajaran ”Insan Cinta Bangsa” Bandung. Dia tidak pulang sejak 9 September 2007. Setelah dilaporkan kepada polisi, keluarganya malah mendapat ancaman teror berupa telefon gelap mengatasnamakan Kapolres Karawang (”PR”, 7/10). Dan terakhir, Ria Riani (22), karyawati Pabrik Tekstil Kahatex yang menghilang sejak 9 Oktober 2007. Gadis Majalengka ini pun raib tanpa diketahui kabarnya (”PR”, 22/10).
Ketiga kasus di atas mengarah kepada gerakan ”Alquran Suci” yang pusat kegiatannya belum diketahui sampai sekarang. MUI Jawa Barat belum menyatakan aliran ini sesat, karena kesulitan dalam melacak keberadaan gerakan underground tersebut. Yang menjadi pertanyaan, mengapa orang-orang yang hilang itu para gadis? Kemudian mengapa para gadis tersebut memilih untuk berkumpul dengan kelompoknya dibandingkan dengan keluarganya? Dan apa sebenarnya yang diinginkan oleh kelompok tersebut?
Hal inilah yang kemudian memicu keresahan di masyarakat. Bukan hanya keluarga korban yang resah akan keselamatan anaknya yang hilang, setiap keluarga yang memiliki anak gadis juga memiliki kekhawatiran yang sama. Apalagi ada kemungkinan, jumlah gadis yang menjadi korban lebih banyak lagi.
Modus operandi
Aliran keagamaan yang gerakannya seperti ”Alquran Suci” ini pernah menggegerkan Bandung. Saat itu banyak orang tua yang melaporkan anaknya hilang atau sikapnya berubah secara drastis setelah masuk kelompok tertentu. Masjid Salman ITB saat itu menjadi pusat penerimaan laporan orang yang terjebak kelompok tersebut. Tidak kurang seratus orang yang melapor atau dilaporkan oleh orang tuanya.
Modus operandi dari kelompok tersebut biasanya berawal dari doktrin diharuskannya calon anggota kelompok untuk ”hijrah” dengan membayar sejumlah uang. Doktrin ini kemudian mengharuskan mereka menutupi identitas keanggotaannya. Pembayaran sejumlah uang ini kemudian melebar menjadi kewajiban menyetor sejumlah uang yang ditargetkan setiap bulannya. Setiap anggota mendapat kewajiban untuk menyerahkan uang sesuai dengan tingkatannya dalam kelompok tersebut mulai dari puluhan ribu sampai jutaan rupiah.
Bila mereka tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut pada satu bulan tertentu, maka kewajiban itu diakumulasikan pada bulan berikutnya. Sebenarnya mereka sendiri tidak mengetahui ke mana dan untuk apa uang itu digunakan. Dengan indoktrinasi yang sangat ketat mereka kemudian tidak berani mempertanyakannya.
Dengan semakin bertambahnya kewajiban menyetor uang, akhirnya untuk memenuhi kewajiban itu mereka menggunakan berbagai macam cara, termasuk mencuri uang orang tua. Lambat laun orang tua mereka curiga dan akhirnya mengetahui keterlibatannya dalam kelompok tersebut. Karena sudah diketahui identitasnya, mereka kemudian meninggalkan rumah dan tidak pernah memberi kabar lagi.
Kemudian beberapa orang ada yang mulai menyadari kesalahannya bergabung dalam kelompok tersebut. Namun para pemimpin kelompok itu tidak sudi kehilangan sumber pendapatannya. Mereka menghalang-halangi, bahkan sampai melakukan teror atau intimidasi psikologis, seperti mengancam akan membunuh.
Anggota yang tidak kuat secara psikologis, tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka ingin keluar tapi takut. Bila mereka tetap di dalam, mereka tidak nyaman. Akhirnya mereka terjebak di dalamnya. Kondisi seperti ini banyak dialami terutama oleh gadis remaja yang belum banyak pengalaman.
Namun mengapa kejadian beberapa tahun yang lalu tersebut sekarang muncul kembali? Ada kecenderungan kelompok ini senantiasa mengubah nama gerakannya untuk menutupi identitasnya. Misalnya dulu dikenal ada kelompok ”Islam Murni”, kemudian menjadi ”Darul Hadits”, dan terakhir bernama ”Islam Jemaah”. Ada dugaan, aliran “Alquran Suci” adalah metamorfosis dari aliran inkarussunnah. Tapi ada juga yang menudingnya digerakkan oleh kelompok NII atau N11 (N sebelas).
Gerakan kelompok ini, sekali pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bisa diketahui melalui modus operandi-nya. Misalnya, beberapa bulan terakhir di kampus UIN Bandung terdengar kabar ada gerakan yang aktif kembali merekrut mahasiswa setelah beberapa tahun vakum. Penulis mengetahui hal ini ketika beberapa mahasiswa berkonsultasi tentang gerakan keislaman. Mereka kemudian menceritakan pernah diajak masuk kelompok tertentu oleh orang-orang tertentu.
Ketika penulis mencoba mengajak dialog, orang itu menghilang. Kelihatannya orang-orang itu ketakutan bila gerakannya diketahui. Mereka hanya berani mengajak orang-orang yang semangat keagamaannya tinggi namun pemahaman keagamaannya rendah.
Membongkar motif
Ada banyak motif di belakang aliran ”Alquran Suci” atau aliran keagamaan sejenis lainnya. Selain upaya pengumpulan dana untuk misi dan kepentingan kelompoknya, ada juga motif politik, yaitu ingin mewujudkan cita-cita politik seperti yang dilakukan kelompok NII, yaitu mendirikan Negara Islam. Namun motif yang paling mengkhawatirkan adalah upaya menghancurkan citra Islam dari dalam.
Upaya penghancuran citra Islam ini, bila sebelumnya dilakukan melalui penstereotifan Islam dengan kekerasan atau terorisme, sekarang dilakukan dengan penciptaan stigma ketakutan kepada kelompok pengajian. Tatkala masyarakat sedang gandrung dengan pengajian, zikir bersama atau halaqah seperti di kampus-kampus, mereka sengaja menyusup untuk menciptakan stigma ketakutan di masyarakat. Stigma ini kemudian bukan hanya menempel pada kelompok mereka saja, tapi juga merembet kepada kelompok lain yang sebenarnya masih memiliki pemahaman keagamaan yang lurus.
Isu aliran sesat dan menghilangnya sejumlah orang ini bisa jadi dimanfaatkan untuk bentuk kejahatan lainnya. Bila menghilangnya sejumlah gadis di atas karena mereka bergabung dengan kelompoknya, hal itu masih bisa dicari jalan keluarnya yaitu dengan mencari dan menemukannya kembali. Atau mereka keluar dari kelompoknya dan kembali.
Yang menjadi kekhawatiran, kasus ini justru menjadi justifikasi bahwa setiap gadis yang hilang kemudian dianggap kabur dari keluarganya. Padahal bisa jadi mereka telah menjadi korban perdagangan (trafficking) anak remaja dan wanita yang sekarang sedang marak terjadi. Mereka diindoktrinasi untuk ikut kelompok tertentu kemudian diminta menjauh dari keluarganya, padahal sebenarnya mereka akan dibawa kabur keluar daerah atau bahkan keluar negeri untuk kemudian dijadikan sebagai wanita penghibur.
Sekalipun indikasi ke arah tersebut sampai saat ini belum kelihatan, namun tentu kita jangan lengah. Seperti diberitakan sebuah media, di Batam, ada tiga karyawati perusahaan dilaporkan menghilang sejak 7 Oktober 2007. Siapa yang bisa menyangkal bila ternyata ketiganya korban trafficking. Bukankah Batam dikenal sebagai lokasi strategis untuk keluar masuk Singapura dan Malaysia atau negara lainnya? Tidak tertutup kemungkinan pula kalau hal itu bisa terjadi di Jawa Barat.
Oleh karenanya kita tidak cukup hanya merasa resah. Kita harus melakukan upaya preventif dan kuratif. Biarlah upaya membongkar sindikat aliran sesat ini kita serahkan kepada kepolisian dan aparat keamanan. Kita bantu MUI, FUUI atau lembaga lain yang sedang berupaya menganalisis kesesatan aliran ini dengan memberikan informasi tentang kelompok tersebut.
Tak kalah pentingnya, kita harus terus menjaga keluarga dan anak-anak kita agar tidak terjerumus masuk ke dalam kelompok tersebut. Tidak lupa kita pun menyatukan tangan bersama-sama seluruh komponen masyarakat di lingkungan kita sehingga setiap gerakan yang mencurigakan bisa dihadang bersama-sama.
Jangan sampai kita kalah oleh gerakan sesat ini karena kita berjalan masing-masing, sedangkan mereka bergerak secara terorganisasi. Ada pepatah Arab menyatakan, ”Kebenaran yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh ketidakbenaran yang terorganisasi”. Bila kita sebagai kelompok yang benar tidak terorganisasi, maka mereka akan mudah membuat kita resah. Namun bila kita bersatu dan terorganisasi, pasti mereka akan mudah kita kalahkan.***
Penulis, Staf Pengajar UIN SGD Bandung dan Penggiat Tepas Institute.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Free Web Hosting